Menjadi Tuan di Negeri Sendiri

Oleh: Dr. Mukhaer Pakkanna, SE., MM. | Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta

Proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, yang seyogianya telah mampu melepaskan nasib anak bangsa dari belenggu penderitaan. Namun, dalam perjalanannya, penjajahan dalam format baru belum mampu dienyahkan di bumi pertiwi ini. Kekuasaan ekonomi masih diakumulasi oleh segelintir orang dengan sokongan kuasa politik negeri. Dalam konteks inilah, untuk membangkitkan prakarsa rakyat yang sudah lama terhempas di negerinya sendiri dan telah lama “membungkuk-bungkuk” di hadapan bangsa asing, maka tema utama kerakyatan, kemartabatan, dan kemandirian, memperoleh justifikasi teoritis dan empiris.

Dalam diktum pemikiran pembangunan strukturalis, Sritua Arief (1998) pernah menyampaikan, bahwa, proses akumulasi dan perubahan sosial-ekonomi di negeri-negeri jajahan dimulai dengan adanya pengaruh eksternal yang datang dari negara-negara kapitalis sebagai penjajah. Pengaruh eksternal ini, mengejawantah dalam bentuk menyeruaknya sektor ekspor bahan-bahan mentah dalam struktur ekonomi negeri-negeri jajahan yang khusus dimaksudkan untuk menopang ekspansi sektor industri di negara-negara penjajah. Dalam konteks ini, negara-negara jajahan diperas (dieksploitasi) untuk menyokong surplus ekonomi Negara-negara kapitalis maju.

Relasi Keterjajahan

Secara umum, pola relasi antara negeri terjajah dan negeri penjajah, sesungguhnya masih awet dan sangat kental aromanya dengan pelbagai derivasinya hingga kini. Dengan dalih liberalisasi investasi dan perdagangan yang mengiringi desakan globalisasi, kian menguatkan relasi negeri jajahan dan penjajah. Bahkan, negeri penjajah bukan saja dari benua Eropa dan AS, tapi telah menular secara masif ke negara-negara yang telah memiliki akumulasi kapital kuat.

Jika zaman kolonialisme primitif dilakukan secara kasar, bahkan dengan pendekatan fisik dan militer, maka saat ini proses relasinya dilakukan secara sophisticated, bahkan dengan sistem teknologi informasi dan komunikasi canggih. Jika pada zaman kolonialisme primitif, menggunakan sistem cultuurstelsel (tanam paksa) untuk menopang surplus ekonomi Negara kapitalis maju, maka dewasa ini menggunakan logika perdagangan bebas yang dikendalikan jaringan sistem teknologi informasi.

Kendati pendekatan relasi negeri jajahan dan negara penjajah antara kolonialisme primitif dan kolonialisme sophisticated berbeda, tapi yang pasti “bola liar” dari efek negatif yang dimunculkannya tetap sama. Surplus ekonomi tetap mengalir dari negeri jajahan ke negara penjajah, dari rakyat yang miskin ke orang-orang kaya. Akumulasi kapital terus menerus menumpuk ke segelintir penduduk, sementara mayoritas rakyat miskin dan jelata masih mengais-ngais riski yang tidak pasti untuk mempertahankan kesinambungan hidupnya.

Itu tandanya, kesenjangan masih mengemuka. Kesenjangan terjadi karena distribusi kekayaan tidak berjalan lancar. Terjadi akumulasi kekayaan yang menumpuk pada segelintir elite ekonomi dan politik, seperti yang pernah terjadi pada era cultuurstelsel. Dalam rancangbangun pola cultuurstelsel itu, di mana realitas ekonomi rakyat dipisahkan dari dinamika modernisasi ekonomi, telah menjadikan massa rakyat hanya sebagai tukang dan penonton. Penguasaan ekonomi lebih banyak ditentukan penguasa sumberdaya domestik, yang telah berkolaborasi pihak asing dan jaringan korporatoktrasi global. Surplus ekonomi tersedot keluar di sertai modernisasi ekonomi yang tampil semu.

Apa yang kemudian terjadi di Tanah Air? Ekonomi bangsa sulit keluar dari dekapan pemilik modal asing. Nyaris semua barang dan jasa yang kita konsumsi tiap hari saat ini, ternyata bukan lagi produk dan karya anak bangsa, tapi produk pemodal dan pemilik asing. Pada produk barang konsumsi, seperti sabun Lux dan pasta gigi Pepsodent, yang sudah sekian turunan kita gunakan, ternyata milik Inggris, air mineral aqua (Danone milik Perancis); susu SGM (Numico, milik Belanda); teh Sari Wangi dan kecap Bango (Unilever milik Inggris); kecap, sirup, saus ABC (HJ Heins milik AS); rokok Sampoerna (Philip Morris milik AS).

Di bidang telekomunikasi, operator Indosat, XL, Telkomsel dimiliki Qatar, Singapura, dan Malaysia. Di bidang ritel, dengan Giant dan Hero (milik Malaysia), Circle K (milik AS), pabrik-pabrik semen, misal; semen Gresik (milik Meksiko), semen Cibinong (milik Swiss), sement tiga Roda (Heidelberger milik Jerman). Di industri perbankan, dari 120 bank umum di Tanah Air, lebih separohnya telah dimiliki asing. Mereka dibiarkan bebas memiliki 99 saham, yang tentu secara otomatis bisa merambah ke seantero pelosok negeri. Di Negara-negara lain, misalnya China (hanya 25 persen), Malaysia (hanya 30 persen), Thailand (hanya 49 persen). Luar biasa memang liberalnya negeri Pancasila kita!

Selanjutnya, dengan dalih liberalisasi investasi dan perdagangan, negeri ini diseret secara sistemik dan rasional dalam kubangan analogi “tanam paksa”. Nyaris, semua sumberdaya ekonomi potensial telah digadai. Demi tuntutan pragmatisme yang tuna-ideologi konstitusi ekonomi, pertumbuhan ekonomi tergerek ambisius dalam jebakan decoupling economy (keterlepasan antara pertumbuhan dengan realitas kemiskinan).

Kasus penghisapan para komparador yang berkhidmat bagi korporatokrasi asing, telah menciptakan luka kesenjangan luar biasa. Bayangkan, menurut versi majalah Forbes (Desember 2012), 40 orang di negeri ini memiliki kekayaan US$88,6 miliar atau Rp841,7 triliun (kurs Rp9.500). Sementara 110 juta orang (World Bank, 2011) berjibaku lumpur kemiskinan. Di tengah PDB terdongkrak naik mencapai Rp7.116 triliun (2012), pendapatan per kapita US$3.543, dan posisi Indonesia sebagai Negara 16 kekuatan ekonomi dunia, di sudut lain, fakta menyayat hati dikonfirmasi Indeks Gini Rasio (IGR) sebesar 0,41, yang mendeskripsikan keakutan tingkat kesenjangan, yakni 1 persen penduduk menguasai hingga 41 persen total kekayaan Indonesia. Padahal sebelumnya, IGR hanya 0,37 (2009) dan meningkat menjadi 0,38 (2010). Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) tahun 2012 menunjukkan, 51 persen dari total deposito perbankan senilai Rp 1.700 triliun hanya dimiliki 0,13 persen nasabah.

Sementara itu, nasib rakyat yang hidup di pelosok-pelosok desa sebagai petani miskin semakin menjerit-jerit. Mereka pun mengambil pilihan meninggalkan lahan pertaniannya dengan mengambil pilihan hidup baru. Tidak aneh, jika saat ini, sekitar 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar sektor pertanian, seperti ojek, dagang dan pekerja kasar. Bahkan, usia rerata petani penggarap saat ini, sudah di atas 60 tahun, yang tentu secara otomatis dalam rentang 10 tahun ke depan, involusi sektor pertanian kian mengerikan nasibnya. Itulah yang mengonfirmasi, mengapa sektor pertanian menghadapi “kiamat”. Maka, sumbangan usaha tani padi pun, dalam struktur pendapatan rumah tangga petani, tentu terus merosot: dari 36,2 persen pada 1980-an, tinggal 13,6 persen pada 2010. Demikian juga kemiskinan nelayan, nasibnya kian parah dan nestapa. Bahkan, nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinannya, seolah menerima “takdirnya”.

Studi Kuntjoro (2010) menyebutkan fakta, bahwa prestasi pertumbuhan ekonomi yang dicapai hanya dinikmati oleh 40 persen golongan menengah dan 20 persen golongan orang terkaya, sisanya sebanyak 40 persen makin tersisihnya kelompok penduduk berpendapatan terendah. Data BPS 2010 menunjukkan, kelompok penduduk berpendapatan terendah ini hanya menikmati porsi pertumbuhan ekonomi 19,2 persen, makin mengecil dari 20,92 persen dibanding tahun 2000. Sebaliknya, 20 persen kelompok penduduk terkaya makin menikmati pertumbuhan ekonomi dari 42,19 persen menjadi 45,72 persen.

Cultuurstelsel Berdaur-Ulang

Kebijakan struktural, yang memosisikan pemilik modal besar dan komparador asing sebagai pelaku utama ekonomi nasional, justru telah menciptakan penjajahan baru. Model cultuurstelsel berdaur-ulang lagi, karena massa rakyat hanya dijadikan konsumen dari produsen dan jaringan distribusi pemilik modal raksasa. Dalam konteks regional misalnya, Negara melakukan pembiaran penghisapan oleh para “drakula”. Kasus Kalimantan Timur yang dirujuk studi Aji Sofyan Effendi (2011), dalam rentang tahun 2000 – 2010, terjadi Derajat Penghisapan Ekonomi (DPE) oleh Multi National Corporation (MNC) sebesar 85,6 persen, yang tersisa untuk Negara hanya 14,4 persen. Selanjutnya, yang diperoleh oleh Kaltim hanya 2,23 persen.

Karena itu, Mubyarto dalam bukunya, “Ekonomi Terjajah” (2005) menjelaskan, setelah lebih 60 tahun merdeka, kondisi perekonomian rakyat Indonesia tidak banyak berubah. Keterjajahan kembali ekonomi Indonesia mewujud dalam bentuk “penghisapan ekonomi” yang sangat tinggi dan penciptaan ketidakadilan sosial. Karena penghisapan tersebut, Indonesia tidak akan mungkin menciptakan keadilan sosial melalui strategi pembangunan.

Kita diingatkan pula Pramoedya Ananta Toer (1995): “Selama beratus-ratus tahun lamanya negeri ini dijajah oleh bangsa barat, negeri ini dihisap, dirampas kekayaan alamnya, negeri yang begitu kaya, disulap menjadi negeri pengemis karena tidak adanya karakter pada kaum elit”. Meminjam istilah Bung Karno (1952): ”Kemerdekaan berarti mengakhiri untuk selama-lamanya penghisapan bangsa oleh bangsa yang tak langsung maupun yang langsung”.

Sayang sekali, karakter pemimpin kuat yang ingin menjadikan negeri ini mandiri dan bermartabat, yang jauh dari perbudakan, tampak kian minimal. Pemimpin yang ada, justru menempatkan penguasaan sumberdaya ekonomi kepada pihak asing. Pesan konstitusi ekonomi yang berkarakter ekonomi Pancasila, sudah semakin usang ditelan kebijakan pragmatisme yang tuna ideologi. Demokrasi ekonomi yang memberi ruang partisipasi ekonomi rakyat, menjadi sayup-sayup. Maka, kesenjangan kian menganga menjadi simptom, demokrasi ekonomi kehilangan relevansi.

Merajut Kapasitas Negeri

Melihat persoalan dinamika ekonomi seperti itu –yang tampil kemilau dalam pencitraan-, menjadi jelas akar persoalan ekonomi, telah memproduksi kesenjangan dan ketidakadilan, maka seyogianya tidak semata diselesaikan dengan pendekatan teori ekonomi primitif (mainstream). Pendekatan politik, sosial, hukum, dan budaya, harus ikut angkat bicara. Penguatan ekonomi domestik, yang dimaknakan penguatan produksi, distribusi, jaringan, dan konsumsi domestik misalnya, menjadi prioritas membangun ketahanan ekonomi rakyat.

Ini menandakan, subtema pertama “kerakyatan”, menjelaskan bahwa semangat membangun ketahanan ekonomi rakyat sebagai landasan sistem kehidupan politik dan ekonomi nasional menjadi wahana untuk mempercepat proses pembebasan bangsa dari kemiskinan dan ketergantungan asing. Kuatnya ketahanan ekonomi rakyat akan mengokohkan kegiatan kerakyatan. Kerakyatan dimaknakan di sini, adanya rasa senasib dan seperjuangan dalam proses perjuangan kebangsaan, yang terus bergulir dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat. Sikap gotong royong dan kekeluargaan yang menjadi dasar demokrasi ekonomi harus mampu mewujudkan persaudaraan sesama anak bangsa atas dasar persamaan dan keadilan dalam membangun kesejahteraan sosial.

Selanjutnya, subtema kedua “kemartabatan”, menjelaskan bahwa harga diri sebagai bangsa yang terhormat, yang lahir dari proses genangan darah dan air mata serta tulang belulang para pejuang bangsa, jangan sampai digadai begitu saja demi tuntutan perut (ekonomi). Raibnya rasa kemartabatan inilah, yang membuat penguasa negeri kita, demi pencitraan ekonomi nasional, demi peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan seterusnya, menggadaikan apa saja yang dimiliki bumi pertiwi kita. Konsekuensinya, bangsa kita telah diseret menjadi bangsa budak atau bangsa kuli di negeri sendiri.

Demikian juga untuk subtema “kamandirian”, menegaskan arah bahwa ekonomi Indonesia harus berdaulat, harus menjadi tuan di negeri sendiri. Yang paling tahu dan memahami seluk beluk di negeri ini, hanya kita, rakyat Indonesia sendiri, bukan bangsa asing. Di mana pun negara yang maju ekonominya, mesti yang berdaulat dan menguasai kegiatan ekonomi adalah kaum bumi puteranya.

Karena itu, berangkat dari realitas keanekaragaman kearifan lokal yang bertebar di seantero nusantara, harus kita gali demi memacu dan memakmurkan rakyat. Kekuatan kearifan lokal ini, harus menjadi modal sosial (social capital) merekatkan seluruh rakyat Indonesia untuk bahu membahu membangun bangsa. Sprit gotong royong dan kekeluargaan yang bersumber dari inspirasi kearifan lokal itu, harus terus digelorakan dan dibangkitkan. Sprit ini tergerus seiring perilaku konsumerisme dan pragmatisme yang melumat mental anak-anak bangsa.

Kemandirian meniscayakan bahwa kita memiliki kekuatan yang dahsyat. Selain memiliki kekayaan modal sosial, manusia-manusia Indonesia ternyata masih memiliki potensi dan prestasi luar biasa untuk dikembangkan, sumberdaya alam yang masih tersedia, letak geografis dan iklim yang potensial, dan pelbagai keunggulan lainnya. Kata Bung Karno: kita harus berdiri di atas kaki sendiri. Berdikari di bidang ekonomi, berdaulat dalam bidang politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Dalam konteks inilah, satu kata kunci yang pas untuk merajut samangat kita, “Menjadi Tuan di Negeri Sendiri”. Stop! menjadi penonton, kuli, dan jongos di negeri sendiri. Karena itu, pergulatan membangun semangat kerakyatan, yang menegaskan terbangunnya semangat perasaan senasib dan sepenanggungan, yang disertai semangat kemartabatan dan kemandirian, yang meneguhkan eksistensi terhadap harga diri sebagai anak bangsa dan percaya pada kekuatan sendiri, harus senantiasa terpatri pada diri anak bangsa.

Leave a Reply