MALAPETAKA ASINGISASI MINYAK

Penulis: Mukhaer Pakkanna | Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta

Jelang kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), pro-kontra pencabutan subsidi kerap mengemuka. Di tengah pro-kontra itu, tampaknya bangsa Indonesia rutin disandera oleh berbagai suguhan dagelan, yang sejatinya publik mulai sadar, siapa sesungguhnya dalang proyek pencabutan subsidi itu.

Hanya karena persoalan spirit pragmatisme ekonomi yang menghinggap, kita telah menggadaikan ideologi konstitusi ekonomi, yang ujungnya bangsa kita bertekuk lutut pada korporasi minyak asing yang bermain dalam skala global. Hal ini terlihat pada proses lahirnya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) Bumi, terutama secara eksplisit pada pasal 28 ayat 2,  berkaitan soal pelepasan harga minyak dan gas bumi yang mengikuti harga pasar.

Munculnya liberalisasi pengelolaan hulu-hilir minyak dan gas (migas), memang sejak 1970-an sudah didesain pemerintah. Namun, yang terlihat keblinger, tatkala pemerintah dan IMF menandatangani Letter of Intent (LOI) pada 1998, di mana bangsa mulai digadaikan dengan melepas harga BBM ke mekanisme harga internasional. Otomatis, subsidi migas wajib dikurangi, bahkan dicabut. Asingisasi minyak pun mulai bergulir.

Untuk menjustifikasi hasil LoI itu, sejak 1999 IMF men-support pemerintah untuk melahirkan UU Migas. Maka pada tahun 2000,  korporasi minyak raksasa melobi pemerintah Amerika untuk ikut menyusun draf UU Migas di Indonesia melalui “tangan ajaib” USAID, yang telah berkolaborasi dengan Bank Dunia dan IDB. 

Taktik penting yang dilakukan pemerintah AS adalah, menyediakan utang untuk memulai proyek liberalisasi (asingisasi) sektor migas itu. Pemerintah Indonesia pun dengan perasaan riang memperoleh utang untuk mempercepat proses economy recovery sebagai kompensasi adanya pendampingan teknis (technical assistance) keberadaan UU Migas itu. Ujungnya. dalam UU Migas itu terlihat jelas spirit pragmatisme dan asingisasi, di mana penguasaan hulu hingga hilir diberikan pada mekanisme pasar internasional.

Asing dan Rakyat

Konsekuensi atas keberadaan UU itu, pemerintah akhirnya segera membuka izin bagi korporasi minyak asing untuk merasuk melahap berbagai tahap penguasaan kegiatan hulu dan hilir pengelolaan dan distribusi minyak. Bahkan, dengan asingisasi itu pula, korporasi minyak asing telah mengendalikan izin untuk membuka SPBU, hingga lebih dari 40 perusahaan. Masing-masing perusahaan diberi peluang membuka sekitar 20.000 SPBU di seantero negeri. Maka munculah nama; Conoco Indonesia, British Petroleum, Caltex, Exxon Oil Mobil, Permintracer Petroleum, Philips Oil Company, Shell Companies, Total Indonesia, Unocol, Chevron, dan seterusnya.

Hanya sayang, proyek liberalisasi sedikit tersandung pada tahun 2005, tatkala adanya keputusan MK yang memutuskan pasal 28 dalam UU Migas itu dibatalkan MK, karena dianggap bertentangan dengan konstitusi ekonomi. Namun, karena adanya kerakusan korporatokrasi, terjadilah persengkokolan jahat antara pihak korporasi minyak global, komprador domestik, dan pemerintah Indonesia. Kemudian tiba-tiba muncul Perpres No. 55 Tahun 2005 juncto Perpres No.9 Tahun 2006, yang melegalisasi terbukanya kembali ruang asingisasi penguasaan hulu-hilir pengelolaan minyak.  

Padahal landasan hukum Perpres itu pun sebenarnya mengandung cacat bawaan, karena jika pemerintah memaksakan rakyat untuk beralih dari BBM bersubsidi ke Pertamax dan melepas fluktuasi harga sesuai harga pasar, pemerintah sesungguhnya melanggar keputusan MK. Inilah biang persoalan dari sisi hukum.

Sementara, dari sisi penguatan ekonomi nasional, akibat penguasaan minyak disandera oleh kepentingan asing, kedaulatan energi hilang.  Amanat pasal 33 UUD 1945 menyatakan “Cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Serta ayat:  “Bumi dan air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat….”, maka amanat “dikuasai” oleh Negara, beralih “dikuasai” oleh korporasi asing. Kemerdekaan untuk mengelola migas, yang merupakan sumber energi utama di Tanah Air menjadi lumpuh dan bangsa kita pun terus menerus disandera oleh raksasa korporasi minyak asing.

Konsekuensinya, bangsa Indonesia tidak berdaulat secara ekonomi dan politik. Implikasi lanjutannya, karena semua aktivitas ekonomi, mulai kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi terkait erat dengan BBM, maka harga pun tergerek tinggi. Akibatnya, anggaran Negara jebol dan aktivitas usaha sektor mikro, terutama usaha kecil banyak yang gulung tikar. Naiknya harga minyak akan memicu meningkatnya biaya produksi. Biaya bahan baku, transportasi, tenaga kerja, dan biaya teknologi terdongkrak. Implikasinya, yakni harga jual produk naik, otomatis meggerek inflasi.

Dalam konteks kegagalan politik alokasi anggaran negara, pemerintah dengan mudah mengorbankan rakyat dengan cara mencabut anggaran subsidi BBM. Ini artinya, karena ekonomi disandera oleh raksasa korporasi minyak global, ekonomi rakyat pun dipaksa mensubsidi ekonomi raksasa yang telah meraup keuntungan luar biasa yang diperoleh dari setiap kebijakan pemerintah mencabut subsidi minyak dan menaikkan harga BBM. Inilah yang oleh Myrdal (1960) disebut backwash effects, di mana yang masyarakat miskin menyumbang raksasa kaya secara berkelanjutan.

De-asingisasi

 Kapanpun, jika ekonomi nasional masih dikuasai oleh kekuatan korporatokrasi, seperti yang disinggung Jhon Perkins, dalam Confessions of an Economic Hit Man (2007), jangan berharap ekonomi suatu Negara akan merdeka. Dalam kaitan itu, kedaulatan migas harus direbut kembali oleh rakyat Indonesia. Selain langkah hukum, terutama berkait  judicial review aturan perundang-undangan yang mengebiri peran kekuatan ekonomi nasional, setidaknya agar bangsa Indonesia tidak terus menerus disandera pihak korporasi minyak asing, beberapa hal yang perlu dilakukan.

Pertama,  perlunya menuntut keterbukaan informasi, terutama berkaitan dengan jumlah produksi, biaya produksi, anggaran pengelolaan minyak, dan mafia minyak yang tidak diberikan sangsi yang tegas. Keterbukaan informasi publik itu bisa dilakukan jika ada entitas kelompok masyarakat yang menjadi pemohon.

Kedua, karena minyak bumi ada di dalam perut bumi Indonesia dan dikuasai 92 persen kegiatan hulu oleh raksasa korporasi asing, dengan naiknya harga BBM, tentu mereka mendapatkan keuntungan luar biasa. Maka, harus ada langkah-langkah mengurangi pengusaan itu. Langkah paling moderat, seperti saran ekonom Joseph E Stiglitz (2006), yakni negosiasi ulang dengan investor agar kontrak migas tidak menyandera dan merugikan Indonesia.

Seandainya, jika pihak koroporasi minyak global itu sudah menggurita dan sulit dikendalikan, langkah radikal perlu dilakukan, yakni nasionalisasi, merujuk apa yang dilakukan Bolivia dan Venezuela. Kedua Negara itu sukses, dan telah membawa manfaat bagi ekonomi negaranya, karena setelah langkah nasionalisasi itu, pendapatan Negara dari migas tergenjot tinggi.

Ketiga, perlu desain kelembagaan, bukan kebijakan eklektik, tambal sulam. Kebijakan reaktif dan bersifat rutin di tengah pengelolaan minyak yang disandera oleh raksasa korporasi asing, maka perlu ada kepastian – jika pun langkah ini diambil—tingkat persentasi kenaikan harga BBM secara periodik. Mau berapa ratus kali harga BBM dinaikkan, tanpa menyentuh masalah dasar pengelolaan sumber kekayaan alam negara ini dan belum adanya desain kelembagaa, mustahil persoalan kenaikan harga BBM dapat menyentuh persoalan secara mendasar.

Leave a Reply

Kirim Pesan
Butuh Bantuan?
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Hallo, sobat ITB Ahmad Dahlan! Apa yang bisa kami bantu untuk Anda?