RAPBN DAN GEJOLAK POLITIK 2009
Penulis: Mukhaer Pakkanna | Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta
Pengantar Nota Keuangan RAPBN 2009 yang disampaikan Presiden SBY pada 15 Agustus 2008, menarik dikritisi karena pada 2009 merupakan tahun terakhir pasangan SBY-JK menunjukkan kinerjanya. Tidak heran jika nuansa ”kampanye keberhasilan” lebih ekspresif ditonjolkan ketimbang langkah-langkah konkret apa yang seyogyanya dilakukan SBY-JK pada 2009. Karena itu, jika ”kampanye keberhasilan” ini dijadikan justifikasi meningkatkan anggaran.
Menurut kegaliban dari tahun ke tahun, RAPBN terus meningkat. Untuk RAPBN 2009, secara prosedural naik Rp 132,7 triliun menjadi Rp1.122,2 triliun, sementara penerimaan naik Rp 127,6 triliun menjadi Rp1.022,6 triliun. Bertalian dengan alokasi anggaran kesejahteraan rakyat, terutama untuk subsidi, pemerintah mematok angka subsidi jauh di atas angka tahun lalu dari Rp 154 triliun menjadi Rp 227,2 triliun. Yang lebih impresif, alokasi anggaran pendidikan yang pada APBN 2008 hanya Rp 154,2 triliun, pada RAPBN 2009 berani dipatok 20 persen yakni Rp 223,3 triliun. Berkenaan dengan itu, obsesi menekan angka kemiskinan dan pengangguran juga semakin terlihat. Presentase jumlah orang miskin dan pengangguran ditargetkan untuk ditekan, yakni dari 17,7 persen dan 10,5 persen pada 2008 menjadi 15,4 persen dan 8,5 persen pada 2009.
Namun, harap diingat, pada 2009 adalah tahun di mana situasi perpolitikan akan bergejolak panas. Pemerintah akan dihadapkan pada situasi conflict of interest, karena sebagian besar pejabat negara berlatarbelakang politisi. Implikasinya ada dua, yakni, pertama, konsolidasi pemerintahan semakin sulit dilakukan, dan kedua, fokus pengembangan kesejahteraan rakyat semakin terabaikan.
Inefisiensi Anggaran
Boleh saja Presiden SBY ekspresif menyampaikan pidato nota keuangan. Tapi, beliau harus realistis, bahwa sebagai Presiden yang memimpin pemerintahan, mulai dari Wapres, menteri, kepala badan, lembaga, hingga Kepada Daerah, adalah politisi dari berbagai latarbelakang Parpol. Realitas seperti ini, membuat mimpi indah Presiden sulit terealisir. Boleh saja secara prosedural anggaran RAPBN terdongkrak naik, tapi secara substansial bisa mengecewakan.
Jika ditengok alokasi anggaran kemiskinan misalnya, sejak pemerintahan SBY-JK berkuasa, alokasi anggaran untuk ”proyek kemiskinan” terus meningkat. Pada awal pemerintahan SBY-JK, anggaran kemiskinan berjumlah Rp18 triliun dengan orang miskin 36,1 juta, pada 2005 anggaran Rp23 triliun dengan orang miskin 35,1 juta, pada 2006 berjumlah Rp42 triliun dengan orang miskin 39,3 juta dan pada 2007 berjumlah Rp51 triliun dengan penduduk miskin 37,2 juta. Bahkan tahun 2008, anggaran kemiskinan Rp 60 triliun, namun jumlah orang miskin masih 17,7 persen.
Demikian juga alokasi anggaran untuk penguatan daerah juga meningkat. Pos alokasi transfer anggaran desentralisasi naik 3,9 persen pada RAPBN 2009 menjadi Rp303,9 triliun, terutama peningkatan signifikan DAU sebesar 26 persen dengan pertimbangan sharing the pain. Namun sayang BPS menyampaikan, Rasio Gini atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan masih sangat lebar sebesar 0,37, padahal tahun sebelumnya 0,33 (Bisnis Indonesia, 19/8/2008)
Peningkatan ini menandakan, spirit Presiden SBY untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat di daerah patut diacungi jempol. Tapi, lagi-lagi, latarbelakang Kepala Daerah yang sebagian besar orang Parpol, mengharuskan kepada Kepala Daerah untuk meningkatkan setoran ke Parpol pengusungnya terutama menjelang Pemilu legislatif dan Presiden/Wapres 2009. Ini artinya, realisasi APBN 2009 diperhadapkan oleh intrik-intrik politik tebar pesona dari para politisi.
Perlu Fokus
Konsekuensi dari ketidakjelasan sistem pemerintahan yang dianut Indonesia sejak masa reformasi 1998, apakah sistem Presidensial murni atau Parlementer murni, telah membawa dampak inefisiensi anggaran. Uang rakyat yang dipungut melalui pajak, retribusi, dan dari sumber daya alam untuk kepentingan penerimaan APBN, ternyata kurang dimanfaatkan maksimal untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Ini menandakan, pemerintah dan politisi kurang memiliki visi dan misi yang konkret membangun negeri ini. Pragmatisme dan libido berkuasa lebih besar ketimbang memanfaatkan maksimal anggaran untuk kepentingan rakyat. Tidak heran jika sumber korupsi (maling), selain di seputar istana, juga berseliweran di parlemen.
Agar anggaran negara tidak dirampok oleh pihak-pihak yang berkuasa, dan agar pemanfaatannya lebih efektif, tentu langkah-langkah yang perlu dilakukan, pertama, Parpol sebagai etalase demokrasi harus segera dibenahi. Para pengurus Parpol inilah yang menjadi cikalbakal penguasa pemerintahan dan negara. Oleh karena itu, visi dan misi Parpol untuk peningkatakan kesejahteraan rakyat harus diinternalisasi. Untuk membangun kesejahteraan rakyat, perlu diperkenalkan konsep ekonomi pasar sosial (social market economy). Konsep ini meniscayakan adanya kebebasan berinisiatif rakyat (individual initiatives) dengan elemen-elemen tanggungjawab sosial (social responsibilities) (Broomley, DW, 1989).
Dalam konsep itu, pemerintah yang berkuasa tidak boleh lepas tangan. Ia harus menyediakan fasilitas infrastruktur sosial pendukung, misalnya, sistem jaminan sosial, sistem asuransi sosial dan kesehatan, perlindungan tenaga kerja dan berbagai jaminan kebutuhan dasar lainnya untuk golongan yang rentan dan kurang mampu. Dengan konsep ini, visi dan misi Parpol harus diorientasikan pada upaya merangsang rakyat untuk berinisiatif dan bertanggungjawab. Masalahnya adalah, para politisi kurang memiliki pemikiran dan agenda aksi jangka panjang dan berkesinambungan. Hal ini disebabkan karena banyak politisi terkena penyakit myopic.
Kedua, pemerintah harus senantiasa melakukan konsolidasi anggaran selama 2009. Hal ini penting agar alokasi anggaran yang ada diberbagai instansi dapat dimanfaatkan secara maksimal, bukan untuk kepentingan tebar pesona politisi. Oleh karena itu, tensi conflict of interest bagi para pejabat harus dikurangi. Presiden SBY dan Wapres JK harus terus kompak mengawal pemerintahan ini hingga selesai.
Ketiga, agar anggaran negara tidak mubazir pada 2009, pihak pengawas keuangan, pemantau Pemilu, KPK, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian politik dan anggaran, perguruan tinggi, Ormas, serta berbagai tokoh masyarakat harus kompak dan senantiasa aktif melihat kinerja para politisi.