KOPERASI PEREMPUAN
Oleh : Dr. Mukhaer Pakkanna, S.E., M.M. | Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta
Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, PDB sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial pada triwulan I 2021 mancatat pertumbuhan positif, 3,64 persen. Dalam konteks sektor kegiatan sosial itu, banyak fakta dan studi menjustifikasi, bahwa perilaku solidaritas sosial pada masa pandemi Covid-19, justru makin meningkat.
Laporan teranyar World Giving Index (WGI) yang dipublikasikan Charities Aid Foundation (CAF) pada 14 Juni 2021 menegaskan kembali komponen solidaritas sosial itu, Indonesia tetap sebagai negara paling dermawan di dunia. Skornya mencapai 69 persen, terdongkrak signifikan dari skor sebelumnya, 59 persen. Ada tiga indikator dinilai. Indonesia memiliki skor tertinggi pada dua indikator, yaitu menyumbang uang dengan nilai 83 persen dan meluangkan waktu mengikuti aktivitas kesukarelawanan dengan nilai 60 persen.
Ini mengirim pesan, perilaku kedermawanan sebagai ekspresi rasa kekeluargaan atau jiwa gotong royong di masyarakat, ternyata belum luruh. Bahkan, di tengah pandemi di mana 69,5 persen masyarakat mengalami tekanan pendapatan, justru masyarakat tetap semangat berderma dan saling membantu. Hampir 8 dari 10 responden mengaku rutin berderma (LazisMu, 1/7/2021).
Spirit Koperasi
Modal sosial utama koperasi adalah saling membantu, berempati, dan saling bergotong royong. Koperasi adalah kumpulan orang, bukan kumpulan modal atau uang. Koperasi bukan semata-mata mau melipatgandakan uang atau kapitalisasi modal, tetapi kebersamaan. Karakter khas koperasi adalah kolegialisme dan kolektivisme.
Tak heran jika Bung Hatta dalam Demokrasi Kita (1966) menyebut, demokrasi dalam bidang ekonomi tergambar “…semangat gotong rojong jang merupakan koperasi sosial adalah dasar yang sebaik-baiknja membangun koperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakjat. Kejakinan tertanam bahwa hanja dengan koperasi dapat dibangun kemakmuran rakjat”.
Dengan dasar kekeluargaan, sejatinya peran perempuan sebagai “penjaga gawang” rumah tangga bisa lebih optimal. Meminjam survei International Labor Organization (ILO) dan International Cooperative Alliance (ICA) (2017) menunjukkan, 75 persen responden merasakan partisipasi perempuan dalam berkoperasi bergerak naik dalam rentang 20 tahun terakhir. Koperasi oleh 80 persen respondennya, dianggap lebih baik dibandingkan organisasi bisnis perseorangan ataupun bisnis publik dalam meningkatkan kesetaraan jender.
Bagaimana dengan di Indonesia? Laporan Pembangunan Manusia yang disampaikan UNDP 2017, yang dilansir 22 Maret 2017, meneguhkan kesenjangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia antara lelaki dan perempuan. Indeks kaum perempuan hanya bertengger 0,660, tertinggal dibandingkan laki-laki sebesar 0,712. Problem kesetaraan adalah kunci pembangunan berkelanjutan. Perempuan tertinggal dalam rerata lama sekolah, jumlah yang tamat pendidikan menengah, pendapatan nasional per kapita, dan partisipasi kerja. Kesenjangan pendapatan dan partisipasi kerja antara lelaki dan perempuan adalah paling mencolok.
Kesenjangan adalah produk diskriminasi, di mana perlakuan ketidakadilan selalu dirawat dalam setiap kebijakan publik dan domestik. Terlepas faktor mentalitas kebudayaan masyarakat yang pernah disinggung Koentjaraningrat (1974) dan Soemardjan (1982), sejatinya kesenjangan sosial, termasuk kesenjangan pendapatan lelaki dan perempuan, lebih dilatari adanya hambatan struktural, kurangnya ruang memanfaatkan etalase kesempatan. Bagi Bremean (1985), kaum miskin “jalan ke atas acap kali dirintangi”, sedangkan “jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”.
Banyak studi yang membedah persoalan kemiskinan, dan ternyata posisi tergawat berada di tangan kaum perempuan. Muhammad Yunus (pemenang Nobel 2009) menyampaikan, kelaparan dan kemiskinan lebih merupakan masalah perempuan ketimbang lelaki. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum tidak tertulis mengatakan, ibulah yang pertama mengalaminya. Ibu rumah tangga juga akan menderita pengalaman traumatis karena tidak mampu menyusui bayinya selama masa kelaparan dan paceklik.
Studi Kabeer (2008) di Bangladesh dan Pakistan menunjukkan, dalam konteks pemberian pinjaman koperasi kepada lelaki, cenderung meneruskan bahkan memperparah ketidakadilan jender dalam rumah tangga. Artinya, kebijakan itu menguatkan posisi lelaki dengan memberi mereka sumber daya di mana mereka mampu mencegah keikutsertaan para istri mereka untuk terlibat aktivitas perolehan pendapatan.
Dalam faktanya, struktur sosial masyarakat di banyak negara berkembang (termasuk beberapa daerah di Indonesia) cenderung tidak menguntungkan, bahkan merendahkan kaum perempuan, meski bagi kaum perempuan di kalangan berada. Dibanding dengan lelaki, kaum perempuan acapkali kurang menyadari dan menggali potensi kewirausahaan yang mereka miliki. Hal ini disebabkan, ketidakadilan jender telah menjadi penghambat mengakses sumberdaya keuangan yang diperlukan (Kabeer, 2008; Mahmud, 2003).
Koperasi Perempuan
Riset yang penulis lakukan di wilayah Banten (2015-2017) mengaitkan antara keuangan mikro dan kaum perempuan perdesaan, mengonfirmasi bahwa keuangan mikro yang dimotori koperasi berbasis perempuan memiliki fleksibilitas dalam menjangkau nasabah perdesaan, dibanding lembaga keuangan lainnya. Salah satunya adalah memanfaatkan modal sosial berbasis pendekatan kelompok (tanggung renteng) – mirip arisan – sebagai pengganti collateral. Studi penulis mengategorisasikan nasabah perempuan dengan lelaki. Terdapat bukti, kaum perempuan lebih memanfaatkan pinjaman dan tanggungjawab yang baik, didukung tingkat pengembalian pinjaman lebih taat dan disiplin dibanding lelaki. Bahkan, terungkap fakta, tingkat NPL (non performing loan) perempuan mendekati angka 0%.
Demikian pula, pada studi yang lain, misalnya merujuk riset Rajivan (2015), tingkat pengembalian suatu program kredit mikro untuk perempuan di Indonesia mencapai sebesar 98 persen, sementara program lain yang ber-target group lelaki persentasenya hanya 82 persen. Koperasi yang melayani jenis usaha kecil dan jenis usaha yang tidak menentu (informal), ternyata dapat menekan “biaya tinggi” dalam pelayanan.
Dengan demikian, perempuan yang selalu bersahabat dengan kesulitan ekonomi, dengan tetap bekerja keras tanpa mengeluh, kendati harus menguras hampir seluruh waktu dan energi mereka. Perempuan miskin belum sepenuhnya dapat melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya ekonomi yang tersedia. Keberadaan koperasi berbasiskan perempuan, yang selalu bersentuhan masyarakat paling miskin di antara yang miskin, bisa memberi peluang menguatkan kemandirian ekonomi perempuan, terutama pada masa pandemi ini.
Kemandirian ekonomi perempuan di rumah tangga, bukan berarti perempuan memutuskan segala sesuatu tanpa musyawarah dengan suami atau anggota rumah tangga lain. Kemandirian memiliki makna, bahwa perempuan miskin tidak menggantungkan ekonomi rumah tangga hanya kepada suami. Perempuan ikut bekerja semata-mata membantu meringankan beban suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Keberadaan koperasi perempuan akan menguatkan partisipasi perempuan di ranah publik tanpa menanggalkan fungsi-fungsi sebagai kaum perempuan. Selamat hari koperasi!
Telah diterbitkan di Kompas.id pada 12 Juli 2021
https://www.kompas.id/baca/opini/2021/07/12/koperasi-perempuan/
Tag:Koperasi