Oleh: Dr. Mukhaer Pakkanna, SE., MM. | Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta
“Rest in Peace (RIP). In my deepest condolence”, itulah ucapan terakhirku melepas kepergiannya. Kamis (29/11) sore yang gerimis, di Rumah Sakit Sari Asih Ciputat, Tangerang Selatan, salah seorang mahasiswaku pamit menemui Tuhannya, setelah sekian lama berpeluk sakit, jantungnya yang bocor sehingga mengidap hipertensi paru akut. Seferiana Eka Pasih, itulah nama pemberian orang tuanya. Mahasiswi asal pelosok Noemuti, Kabupaten Timur Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mendiang adalah pemeluk Katolik, bersama puluhan rekannya berasal daerah yang sama aktif kuliah dan aktif di berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Institut Teknologi dan Bisnis, Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta (STIE-AD Jakarta).
Menariknya, banyak di antara mereka menjadi anggota dan pengurus aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan telah mengikuti tahapan perkaderan Darul Arqam Dasar (DAD) kendati mereka itu istiqamah dengan agamanya. Bahkan, jika ada kegiatan seremoni kampus, mereka kerap tampil sebagai tim paduan suara, menyanyikan Mars Muhammadiyah, Mars IMM, dan tentu di antara mereka mulai fasih belajar al Qur’an dan bahasa Arab. Sesekali mereka berkelakar: “Kami sudah bermuhammadiyah, tapi belum berislam”.
Pada Jum’at (30/11), sesuai melepas jenazah Seferiana di bandara Soekarno-Hatta untuk dimakamkan di kampung halamannya, saya mengundang beberapa mahasiswa beragama Katolik dan Kristen yang berasal dari NTT, Maluku Tengah, dan Tanah Toraja. Kami bersilaturrahmi, menanyakan suka duka hidup di tanah rantau, menceritakan bagaimana keadaan keluarganya, dan pengalaman batinnya kuliah di ITB-AD Jakarta.
Remi Iusfay, mahasiswa Prodi Akuntansi yang aktif di IMM, menceritakan kebahagiannya kuliah di kampus Sang Pencerah. Padahal, dia juga aktivis pemuda gereja di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Anak dari Ferdinands dan Theresia, petani serabutan di pelosok Miomaffo Barat, Kabupaten Timur Tengah Utara, menikmati proses belajar di ITB-AD yang terbuka, demokratis, partisipatif, dan tidak eksklusif. Sosok Remi Iusfay adalah sosok mahasiswa Kristen-Muhammadiyah, Kris-Mu, yang pernah dipopulerkan Abdul Mu’ti (2009) dalam riset doktoralnya yang mengambil kasus SMA Muhammadiyah Ende, NTT.
Sosok Kiyai Dahlan
Terus terang, saya teringat dan terinspirasi pada sosok kiyai Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah 106 tahun lewat. Sejak awal, beliau menekankan agar Muhammadiyah bukanlah organisasi bergerak di bidang politik. Tapi lebih banyak bergerak di bidang sosial, terutama pendidikan masyarakat. Bagi kiyai Dahlan, Muhammadiyah sebagai wahana berdakwah dan pendidikan untuk membawa ideologi pembaruan, untuk kemajuan bangsa.
Saat merintis dan membangun sekolah berbasis agama, kiyai Dahlan, berkunjung ke sekolah sahabatnya, seorang pastor Katolik berdarah Belanda, Pastur van Lith. Persahabatan Dahlan dengan pastor tersebut untuk berdialog, berdiskusi bagaimana memajukan pendidikan pribumi yang bermartabat dan memanusiakan manusia. Selain itu, kiyai Dahlan tentu juga banyak bergaul dengan tokoh dari berbagai lintas, seperti pendeta, kelompok Boedi Utomo, bahkan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak mengherankan jika Dokter Soetomo, seorang elite priyayi Jawa dan salah seorang pemimpin Budi Utomo (BU) penasaran dengan Muhammadiyah dan bersedia menjadi advisor Hooft Bestuur Muhammadiyah masa itu. Bahkan, belakangan, sosok kiyai Azhar Basyir (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1990 -1995), selalu menyampaikan kuliah tentang Muhammadiyah di Akademi Kateketik Katolik Yogyakarta.
Dalam Pedoman Hidup Islami (PHI) yang beredar resmi di kalangan warga Muhammadiyah, secara eksplisit menuntun, bahwa “Islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama, seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya, masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama muslim maupun dengan non-muslim, dalam hubungan ketetanggaan. Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsi-prinsip yang diajarkan Agama Islam”.
Keapikan inklusifitas dalam pengelolaan pendidikan dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah seperti gambaran di atas, harus senantiasa dirawat dan dikampanyekan. Islam mengajarkan keramahan, kemanusiaan, tidak diskriminatif, dan senantiasa menjunjung tinggi keadilan. Jangan sampai hanya kepentingan politik sesaat yang myopic, telah mengoyak sulaman kebangsaan kita. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) harus istiqamah menyemai keragaman, sikap inklusif, dan tentu di atas nilai-nilai cinta dan kasih sayang. Wallahu a’lam bish-shawab.