RESILIENSI EKONOMI PEREMPUAN
Oleh : Dr. Mukhaer Pakkanna, S.E., M.M. | Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta
Lebih setahun, pandemi Covid-19 membersamai kita. Dan, hampir semua lini kehidupan terdisrupsi. Pelaku usaha yang paling berdampak, yakni mereka yang berjuang di aras bawah piramida ekonomi: usaha ultramikro, mikro, dan kecil.
Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (2020), mengonfirmasi 94,69 persen pelaku usaha ultramikro dan UMKM mengalami penggerusan penjualan sejak pandemi. Bahkan, 49,01 persen pelaku usaha ultramikro mengalami penurunan penjualan lebih dari 75 persen. Demi bertahan hidup, pelaku usaha ultramikro rela untuk bekerja dengan jam kerja yang panjang, jauh di atas jam kerja normal.
Sementara itu, belum ada data pasti berapa jumlah kaum perempuan yang bergulat dalam usaha ultramikro. Rapuhnya data jumlah usaha ultramikro lebih dipicu karena mereka tidak teregistrasi dan legalitasnya diragukan. Mereka distigmakan sebagai bagian dari under-ground economy, hidden economy, shadow economy, dan lainnya sebagai aktivitas nonpasar. Mereka tidak tercatat dalam perhitungan BPS dan PDB (Produk Domestik Bruto). Bagaimanpun juga, jumlah kaum perempuan sebagai pelaku usaha ini lebih banyak dibanding laki-laki, terutama pada masa pandemi Covid-19.
Masa pandemi, perempuan riskan mengalami pelbagai masalah, mulai dari tripple burden of women (Sadli, 2008; Asmorowati, 2005). kehilangan mata pencarian, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, hingga mengalami kekerasan berbasis jender. Di sisi lain, pandemi juga membuka akses bagi perempuan berkontribusi memerangi Covid-19 dan mendukung perekonomian yang dapat dimulai dari tingkat keluarga.
Merujuk survei “Women Count” dari UN Women dan The United Nations (UN) Covid-19 dalam judul: “Menilai Dampak Covid-19 terhadap Jender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”, melaporkan bagaimana Covid-19 mengekspos kerentanan perempuan (vulnerability of women) terhadap turbulensi ekonomi dan memperdalam ketidaksetaraan yang sudah ada di Indonesia sejak sebelum pandemi.
Beberapa temuan menarik dari laporan ini di antaranya; Pertama, perempuan di Indonesia banyak bergantung dari usaha keluarga, tetapi 82 persen dari mereka mengalami penurunan dalam sumber pendapatan. Kendati 80 persen laki-laki juga mengalami penurunan serupa, fakta membuktikan bahwa laki-laki mendapatkan keuntungan dari sumber pendapatan yang lebih luas.
Kedua, sejak pandemi, 36 persen perempuan, dibandingkan 30 persen laki-laki pekerja informal, harus mengurangi waktu kerja berbayar mereka. Ketiga, pembatasan sosial membuat pekerjaan rumah tangga tak berbayar menjadi layanan dasar penting, tetapi perempuan memikul beban terberat: 69 persen perempuan dan 61 persen laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga tak berbayar. Demikian pula, 61 persen menghabiskan lebih banyak waktu untuk kerja pengasuhan tak berbayar, dibandingkan 48 persen laki-laki.
Resiliensi Perempuan
Topik utama resiliensi perempuan sejatinya adalah aksesibilitas. Seperti yang diutarakan Amartya Sen (10981), kemiskinan terjadi akibat capability deprivation (kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang). Ketidakbebasan masyarakat yang substansif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi. Dengan demikian, kemiskinan diakibatkan keterbatasan akses. Jika manusia mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan hidupnya, akibatnya manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan.
Dalam banyak studi juga diuraikan, adanya relasi antara program resiliensi ekonomi perempuan dengan upaya menekan angka kemiskinan. Jika program resiliensi ini optimal, diasumsikan lebih separuh program pengentasan kemiskinan dianggap sukses. Laporan riset World Bank Group in Women, Business and the Law 2016, mencatat, pada era 1990-an, hanya sedikit negara yang punya aturan hukum melindungi perempuan dari kekerasan. Namun, pada 2016, jumlahnya mencapai 127 negara, yang dipicu meningkatnya kesadaran terhadap biaya ekonomi dan manusiawi yang harus ditanggung akibat salah memperlakukan perempuan.
Tatkala perempuan diijinkan bekerja di profesi yang mereka inginkan, ketika mereka memiliki akses terhadap jasa keuangan dan dilindungi oleh hukum dari kekerasan rumah tangga, maka kaum perempuan bukan saja lebih berdaya dan mandiri secara ekonomi, melainkan juga berumur panjang. Semakin banyak perempuan punya kendali terhadap pendapatan rumah tangga, semakin besar partisipasi mereka dalam aktivitas ekonomi, semakin banyak perempuan masuk sekolah menengah, semakin besar pula keuntungan untuk anak-anak mereka, masyarakat, dan negara.
Dengan demikian, resiliensi perempuan terkait erat dengan dampak kemandirian. Kemandirian perempuan miskin terkait akses dan kontrol perempuan di rumah tangga dan di luar rumah tangga. Dalam kaitan itu, yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana mengaitkan dengan program financial inclusion (inklusi keuangan) yakni berikan porsi pembiayaan lebih besar kepada nasabah perempuan dalam proses resiliensi. Model inklusi keuangan seperti ini akan mampu memacu pembangunan ekonomi di aras bawah piramida melalui peningkatan kebiasaan menabung, menciptakan kesempatan kerja, dan meningkatkan tingkat monetisasi.
Inklusi keuangan tentu berbasis ekonomi digital. Digitalisasi dapat menjadi sebuah solusi. Merujuk studi Lestariningsih et al (2017) bahwa peningkatan 10 persen akses internet terhadap perempuan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 0,51 persen. Peningkatan ini lebih besar dibandingkan dengan pria, yaitu 0,43 persen. Jika digerakkan secara efektif, usaha mendigitalisasi pelaku usaha ultramikro dan mikro perempuan juga dapat berkontribusi meningkatkan angkatan kerja perempuan dan selanjutnya memperkecil indeks ketimpangan jender di Tanah Air.
Mengonfirmasi studi UNDP (2020), partisipasi perempuan dan laki-laki pada angkatan kerja Indonesia masih timpang, 82 persen laki-laki dan 53 persen perempuan di atas usia 15 tahun pada 2019. Digitalisasi atau penggunaan internet dalam transaksi jual beli menjadi salah satu cara efektif agar pelaku usaha ultramikro dan mikro tetap dapat menjalankan usahanya. Menurut survei BPS pada 2020, empat dari lima pengusaha yang memasarkan produknya secara daring mengalami peningkatan penjualan.
Bukti ini diperkuat oleh laporan Google, Temasek, dan Bain & Company (2020) yang menyatakan, terdapat peningkatan konsumen digital sebanyak 37 persen akibat pandemi. Karena itu, sejatinya baik Pemerintah, sektor privat, organisasi kemasyarakatan (Ormas), hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), melaksanakan program-program resiliensi ini untuk memudahkan transformasi digital usaha ultramikro dan mikro secara masif dan terukur.
Telah diterbitkan di Kompas.id pada 4 Mei 2021
https://www.kompas.id/baca/opini/2021/05/04/resiliensi-ekonomi-perempuan/