Sebagai pegiat sekaligus pengamat medsos, akhir-akhir sering muncul pertanyaan dari netizen. Mengapa Ustaz Adi Hidayat (UAH) tidak ada dalam daftar calon Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Muktamar Muhammadiyah kali ini ? Sepertinya ada beberapa alasan dan kondisi yang perlu diketahui netizen, sehingga menjadikan UAH tidak masuk dalam bursa calon PP. Muhammadiyah.
Permusyawaratan Perwakilan
Alasan pertama. Muhammadiyah benar-benar mengamalkan demokrasi Pancasila, yakni “Permusyawaratan Perwakilan”. Pemilihan Muhammadiyah berbeda dengan Partai. Tradisi Muhammadiyah berbeda dengan pemilihan partai politik, Pemilu Presiden, Pilgub, Pilkada, maupun Pemilihan Calon Legislatif. Demokrasi Muhammadiyah adalah demokrasi kebijaksanaan. Hakikat kemuliaan manusia adalah pada akalnya, yakni gabungan dari nalar dan Nurani. Demokrasi kebijaksanaan adalah permusyawaratan perwakilan.
Dalam tradisi persmusyawaratan, Muhammadiyah menerapkan “permusyawaratan perwakilan”. Peserta yang hadir dalam Muktamar adalah utusan pimpinan wilayah dan daerah se-Indonesia. Utusan adalah mereka yang menjadi peserta Muktamar yang sebelum mereka ditetapkan dalam rapat. Jadi benar-benar mewakili institusi dari bawah. Dalam penjaringan pemimpin Muhammadiyah benar-benar direkomendasi dari bawah. Mereka dicalonkan, bukan mencalonkan. Dalam Muktamar kali ini ada 92 calon yang bersedia, dari banyak nama yang direkomendasikan oleh anggota tanwir, yakni perwakilan pimpinan wilayah se-Indonesia dan organisasi otonom tingkat pusat.
Dari 92 calon akan dipilih dan disahkan dalam Sidang Tanwir Pra-Muktamar menjadi 39 calon. Setelah itu, 39 calon akan dipilih menjadi 13 besar. Kemudian 13 anggota PP Muhammadiyah tesebut menentukan Ketua Umum terpilih. Menariknya, suara terbanyak belum tentu menjadi Ketua Umum.
Hal ini artinya Muhammadiyah tidak mendewakan suara terbanyak. Ada gagasan dan kebijaksanaan di situ yang dihargai dalam bermusyawarah. Suara tidak hanya dinilai dari kuantitatif melainkan suara kualitatif berupa argumen, pendapat, dan pemikiran. Ada semacam titik temu pemikiran yang bersifat kompromistik yang menempatkan manusia pada kemulaiaannya yakni nalarnya. Di sinilah makna penting “permusyawaratan perwakilan. Dan UAH kemungkinan besar tidak dicalonkan oleh anggota tanwir. Kita lihat dulu tanwir pra-Muktamar mengumumkan apakah UAH masuk di 92 nama-nama?
Muhammadiyah Tergantung Sistem, Sanes Sinten
Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir mengibaratkan Muhammadiyah seperti pesawat besar dengan penumpang yang banyak, sehingga sebagai nahkoda harus hati-hati. Jangan membawa Muhammadiyah seperti pesawat jet tempur. Muhammadiyah adalah system besar dan kuat. Senada dengan itu, Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut Muhammadiyah itu tergantung SISTEM, bukan pada SINTEN dan PINTEN. Artinya Muhammadiyah tidak tergantung sosok dan tak perlu dukungan materi untuk jadi pimpinan. Orang besar masuk Muhammadiyah harus menyesuaikan system organisasi dan system nilai di Muhammadiyah. Orang tidak bisa seenaknya dengan mudah membawa Muhammadiyah seperti seleranya.
Hadjriyanto Y. Thohari, menyebut Muhammadiyah tidak butuh kepemimpinan karismatik, “TIDAK DULU TIDAK SEKARANG, TIDAK RELEVAN dengan Muhammadiyah”. Muhammadiyah tidak memerlukan pemimpin yang hebat secara individual, apalagi bersifat one man show. Dalam Muhammadiyah sistem yang bekerja, bukan persona dan juga bukan karisma. Bagi Hadjri, Muhammadiyah adalah organisasi yang modern, sistemik, dan mementingkan kolektivitas dan kolegialitas. Kepemimpinan Muhammadiyah adalah teknokratis. Muhammadiyah KURANG membutuhkan politikus, tokoh kharismatis, apalagi sekadar orator yang hanya pandai berpidato.
Tradisi Pemilih Muhammadiyah
Dalam tradisi Muhammadiyah, pimpinan itu dicalonkan, dan tidak mencalonkan diri. Jabatan itu amanah. Jika diberikan tidak boleh ditolak. Jabatan tidak boleh dikejar atau direbut. Sampai-sampai Hadjriyanto Y. Thohari, dalam tulisannya di Majalah Matan menyebut pandangan warga Muhammadiyah dengan “teologi emoh-jabatan”. Hal ini untuk menggambarkan betapa warga Muhammadiyah puritan dan konservatif urusan jabatan. Mereka benar-benar menjaga diri dari perilaku mengejar jabatan. Karena menghayati bahwa jabatan itu berat dan akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah, maka biasanya butuh usaha berkali-kali untuk mendorongnya supaya bersedia dicalonkan menjadi pimpinan Muhammadiyah.
Di sisi lain, para pimpinan Muhammadiyah sejati biasanya menghindari tampil di muka. Hal ini untuk menghindari kesan cari panggung atau cari muka supaya terpilih. Mereka yang betul-betul bekerja dan aktif menjalankan Muhammadiyah biasanya begitu tawadhu’, tidak ingin tampil, karena menghindari sikap riya’. Mereka begitu menjiwai doktrin “sedikit bicara, banyak bekerja” serta “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Menariknya, biasanya yang terlalu bersemangat dan terlihat berambisi menjadi pimpinan Muhammadiyah, justru tidak terpilih dalam permusyawaran. Mereka yang sedikit hanya menggelorakan retorika dan citra belaka. Banyak pemimpin Muhammadiyah yang penuh dedikasi, retorika biasa saja, tetapi berkhidman untuk organisasi dengan penuh dedikasi.
Maka wajar jika sebagian besar pimpinan Muhammadiyah yang terpilih memang kurang popular. Ada yang terkenal di media sosial, tapi tidak dipilih oleh peserta Muktamirin. Di sini karena, mereka yang datang tahu betul kebutuhan Muhammadiyah sebagai sebuah system membutuhkan tim yang memiliki keragaman kompetensi. Ada mereka yang terpilih karena kebutuhan organisasi, bukan karena popular. Bisa saja UAH masuk PP Muhammadiyah. Syaratnya (1) dicalonkan oleh anggota tanwir; (2) dipilih oleh muktamirin sampai 13 besar; dan (3) bersedia menjalankan Muhammadiyah dengan system yang ada.
Ditulis oleh:
Azaki Khoirudin