Kader Muhammadiyah Jadi Panglima TNI Ini Sempat Gagal Masuk AAL

Tak tebersit sebelumnya dalam benak Feisal Tanjung bakal menjadi prajurit TNI Angkatan Darat. Cita-citanya semasa remaja hanya satu: masuk Angkatan Laut!. Namun suratan takdir telah membawa dia ke catatan sejarah, ditunjuk sebagai panglima TNI.

Lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Jenderal TNI (Purn) Feisal Edno Tanjung merupakan anak ke-5 dari 10 bersaudara dari pasangan Amin Husin Abdul Mun’im dan Siti Rawani Hutagalung. Feisal lahir tak lama setelah keluarganya pindah dari Sibolga untuk dakwah. Dalam catatan Usamah Hisyam, ayahnya, Abdul Mun’in, dikenal penduduk Sibolga sebagai tokoh, ulama, dan salah satu pendiri Muhammadiyah yang amat disegani. Mun’im, dikenal pula sebagai pejuang Islam di Tapanuli sejak prakemerdekaan yang menentang pemerintah kolonialisme. Sementara Rawani, ibunya, juga aktif dalam kegiatan keislaman dan dakwah. “Rawani masuk dalam organisasi Aisyiyah di Sibolga dan menjadi salah satu mubaligah sejak Mun’in diamanahkan sebagai konsul kedua dalam struktur Muhammadiyah Tapanuli pada 1937,” tulis Usamah Hisyam dalam buku Feisal Tanjung: Terbaik untuk Rakyat, Terbaik bagi ABRI, dikutip Sabtu (26/11/2022).

Feisal sempat menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Sibolga hingga kelas 5. Ketika keluarganya pindah ke Medan karena sang ayah bekerja sebagai pegawai negeri di Djawatan Penerangan, Feisal meneruskan sekolah di SR Yosua. Selain bersekolah formal saat pagi, dia belajar mengaji pada siang harinya. Lulus pendidikan dasar pada 1952, Feisal masuk SMP Roma Katolik. Namun saat menginjak kelas 3, dia dipindahkan ayahnya ke SMP Muhammadiyah Medan. Menurut tulisan UNJ bertajuk “Jenderal Feisal Tanjung: Panglima ABRI yang Mempererat Hubungan ABRI dengan Golongan Islam (1993-1998), dia lantas melanjutkan ke SMA Taman Siswa Medan, kemudian pindah ke SMA Prayatna.

Mendaftar Taruna AAL
Layaknya anak-anak Sibolga, Feisal semasa remaja juga akrab dengan pantai, laut dan ombak. Maklum, Sibolga merupakan kota di pantai Barat pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan dan berada pada kawasan Teluk Tapian Nauli. Tak hanya itu, pemandangan prajurit TNI Angkatan Laut yang sedang bertugas juga menghiasi kota ini. Karena kebiasaan melihat anggota AL inilah terpetik hasrat dalam dada Feisal untuk menjadi prajurit AL. Ditulis Usamah Hisyam, ketika duduk di kelas tiga SMP Feisal diam-diam pernah mendaftarkan diri menjadi aspiran kadet AAL. Untuk diketahui saat itu AAL menerima tamatan SMP untuk menjadi aspiran (calon) kadet.

Dalam perhitungannya, ketika dia diterima sebagai aspiran kadet, maka dua tahun berikutnya dapat menjadi kadet. Namun harapan itu kandas. Dia tidak diterima lantaran tak memenuni syarat usia minimal yang ditetapkan yakni 16 tahun. Feisal baru berusia 15 saat mendaftar itu. Namun kegagalan ini tak membuatnya patah arang. Tamat SMA, lagi-lagi dia mengisi formulir pendaftaran masuk AAL. Tapi kali ini dia juga mendaftar di Akademi Militer Nasional atau AMN (kini Akademi Militer/Akmil). Cita-cita boleh menjadi Angkatan Laut, namun surat panggilan dari AMN datang terlebih dahulu. Jadilah dia akhirnya mengikuti seleksi. Feisal lolos tingkat kodam hingga akhirnya resmi menjadi calon prajurit taruna (capratar) pada 1958. Bocah dari keluarga Muhammadiyah ini pun akhirnya sukses menempuh pendidikan militer darat dan lulus pada 1961.

Ditunjuk Soeharto sebagai Panglima Karier militer Feisal Tanjung terbilang cemerlang. Prajurit dari kecabangan infanteri ini banyak ditempa di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kelak berubah menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) dan akhirnya Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Selain itu dia juga berkiprah di Pasukan Cakra alias Kostrad. Berbagai jabatan pernah melekat di pundak prajurit tempur ini. Dimulai dari komandan peleton dan kompi di Yonif 152 Kodam XV/Pattimura, dia lantas menjadi Komandan Kompi Tanjung Batalyon 2 RPKAD, Komandan Detasemen 41 Grup 4 RPKAD, hingga Wakil Komandan Grup 1 RPKAD (Grup 1/Para Komando).

Di Baret Hijau, tentara yang pernah terlibat operasi penumpasan G30 S/PKI ini dipercaya sebagai Kastaf dan Komandan Brigif Lintas Udara 17 Kostrad. Setelah itu meroket sebagai Asisten Operasi Kepala Staf Kostrad, Kepala Staf Komando Tempur Lintas Udara Kostrad dan akhirnya Panglima Komando Tempur Lintas Udara Kostrad (Divisi Infanteri 1/Kostrad). Karier jenderal berkumis tebal ini semakin mencorong. Dia dipromosikan sebagi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri pada 1983 hingga 1985, kemudian Pangdam VI/Tanjungpura (1985-1988). Setelah itu dia dipercaya sebagai Dansekoad, kemudian Kasum ABRI. “Dari posisi Kasum itulah Feisal naik ke kursi Panglima menggantikan Edi Sudrajat yang duduk di kursi pimpinan ABRI selama hanya hampir tiga bulan,” kata Salim Said dalam buku “Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian”. Salim Said menuturkan, sebelum mengangkat Feisal, Presiden Soeharto perlu kesaksian tentang calon panglima ABRI itu dari orang-orang yang kenal secara pribadi. Mereka yang ditanyai Soeharto antara lain Menko Azwar Anas dan Mayjen TNI Zaini Azhar Maulani.

Mereka diminta bersaksi lewat rekaman yang alat perekamnya dibawa Kolonel Kivlan Zein dan Kolonel Ismed Yuzeri. Rekaman itu kemudian diperdengarkan kepada Soeharto. “Saya tidak tahu siapa saja yang diminta kesaksiannya sebelum akhirnya Bapak Presiden berkeputusan melantik Feisal Tanjung sebagai pangab,” tutur Said. Apa pun, keputusan itu memang dinilai mengejutkan. Lazimnya, calon Pangab yaitu KSAD yang ketika itu dijabat Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar. Banyak yang menilai pemilihan Feisal sebagai panglima merupakan cara Soeharto untuk mempererat kembali hubungan dengan kalangan Islam.

Tak heran pada masa ini Soeharto banyak mempromosikan ‘jenderal santri’. Selain Feisal, masuk dalam lingkaran dekat Soeharto yakni R Hartono, yang berdarah Madura. Mereka kerap disebut-sebut sebagai ‘ABRI Hijau’. Setelah tak lagi menjadi pangab, Feisal dipercaya Soeharto sebagai menteri koordinator bidang politik dan keamanan (menko polkam). Jenderal Baret Merah yang pernah memimpin Operasi Lembah X di pedalaman Papua itu meninggal dunia karena sakit pada 18 Februari 2013.

Leave a Reply