Dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang, Jawa Timur, menyimpulkan bahwa para ulama sepakat perempuan Muslimah haram menikah dengan laki-laki musyrik. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan perempuan musyrikah (Budha, Hindu, dll). Demikian penjelasan dari Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muchammad Ichsan yang menegaskan bahwa pernikahan beda agama hukumnya haram.
Menurut Ichsan, hal tersebut telah sejalan dengan penggalan QS. al-Baqarah ayat 221. Adapun yang diperselisihkan para ulama ialah: bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Yahudi dan Nasrani? Mengingat dalam QS. Al Maidah ayat 5 terdapat indikasi membolehkan laki-laki Muslim menikahi Kitabiyah. Para ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkannya. Majelis Tarjih mengambil posisi untuk mengharamkannya.
“Seorang muslimah tidak boleh dinikahi baik oleh Ahli Kitab maupun orang Musyrik. Pilihannya hanya satu yaitu yaitu laki-laki Muslim. Lantas bagaimana dengan laki-laki Muslim, bolehkah menikah perempuan Ahli Kitab?” tanya Ichsan dalam kajian yang diselenggarakan di Masjid KH. Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Rabu (14/12).
Menurut Ichsan, pengharaman nikah beda agama merupakan upaya sadd adz-dzari’ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga keimanan calon suami/istri dan anak-anak yang akan dilahirkan. Sekalipun seorang laki-laki Muslim ada indikasi boleh menikah Kitabiyah, Majelis Tarjih tetap tidak menganjurkan perkawinan tersebut. Salah satunya alasannya dikhawatirkan terjadi pemurtadan atau kurangnya keimanan dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari.
“Kalau si suami tidak murtad, paling tidak ketaatannya kepada Agama itu akan berkurang, seandainya pasangannya berbeda agama. Kalau tidak demikian, anak-anak yang dilahirkan sangat rentan akidahnya, bisa-bisa mengikuti agama ibunya,” ucap Ichsan.