Manusia merupakan mahluk jasmani dan mahlik rohani, selain itu manusia juga menjadi mehlik paling unik dan unggul diantara mahluk-mahluk lain ciptaan Alla SWT. Keunggulan tersebut terletak pada intelektual manusia diberikan tanggung jawab sebagai khalifah dimuka bumi ini. Salah satu keistimewaan lainnya yang diberikan pada manusia yaitu terletak pada hatinya, yang mana hati manusia merupakan pusat spiritual yang menjadi sumber cahaya batiniah.
Dalam psikologi sufi menjelaskan bahwa hati yang dimaksud bukan dalam artian fisik melainkan dalam arti spiritual yang mana hati ini memuat kecerdasan dan kearifan yang lebih dalam. Hati merupakan tempat marifat, dan meruapakn kecerdasan yang lebih mendalam dan lebih dasar dari kecerdasan abstrak pada otak. Robert frager dalam bukunya memahami hati manusia sebagai masluk spiritual, yang mana hati ini tidak dapat dipisahkan dengan yang lainnya bahkan hati saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Dikatakan jika mata hati manusia terbuka, maka merka dapat melihat sesuatu yang berada dibalik kulit luar dari sesuatu, dan ketika telinga hati merka yang terbuka maka mereka bisa mendengar kebenaran yang tersembunyi dibalik kata-kata.
Robert Frager mengatakan bahwa hati memiliki 4 struktur yaitu dada, hati, hati lebih dalam, dan lubuk hati terdalam. Keempat struktur ini saling terhubung satu sama lain Dada ialah lingkaran di bagian luar, hati dan hati-lebih-dalam berada pada kedua lingkaran tengah, sedangkan lubuk-hati-terdalam terletak di pusat lingkaran, dan tiap-tiap struktur tersebut memiliki cahayanya masing-masing.
Pendekatan yang menggunakan hati akan melahirkan kebijakan yang sangat arif. Seseorang yang berbuat untuk sesuatu dengan mengikuti kata hati, maka ia akan mendapatkan pengetahuan yang akan mengantarkannya pada kebenaran. Apabila manusia mengenali hatinya sendiri, maka ia akan mengenali pula dirinya sendiri. Dan apabila ia telah mengenali dirinya sendiri, ia akan mengenal pula tuhannya. Begitu juga sebaliknya jika manusia tidak dapat mengenali hatinya sendiri maka ia takkan mengenali diridnya sendiri. Dan apabila ia tidak dapat mengenali dirinya sendiri, ia takkan mengenali tuhannya sendiri.
Pendahuluan
Manusia merupakan mahkluk jasmani dan mahkluk rohani, selain itu manusia juga menjadi mahkluk paling unik dan unggul diantara mahluk-mahluk lain ciptaan Allah SWT. Keunggulan tersebut terletak pada intelektual manusia diberikan tanggung jawab sebagai khalifah dimuka bumi ini. Salah satu keistimewaan lainnya yang diberikan pada manusia yaitu terletak pada hatinya, yang mana hati manusia merupakan pusat spiritual yang menjadi sumber cahaya batiniah.
Hati adalah tempat bersemayamnya cinta kepada Tuhan, karena hanya hati yang mampu mengenal Tuhan sehingga ia mencintai-Nya. Seorang pecinta sejati senantiasa bersama-Nya serta mencintai-Nya di setiap waktu, melalui transformasi. Hati memiliki dua makna: Pertama, daging berbentuk pohon cemara yang terletak pada dada sebelah kiri. Di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ini adalah sumber ruh. Daging ini, dalam bentuknya seperti itu, terdapat pula pada tubuh binatang dan orang-orang yang sudah mati. Dan kedua, hati yang memiliki kaitan dengan daging ini dinamakan hati yang mengenal Allah SWT.
Adapun yang dimaksud hati menurut Frager disini adalah hati spiritual atau seperti yang diungkapkan Ruzbihan Baqli dalam Masyrab al-Arwah; hati yang asli adalah realitas yang diberkati suci dan halus. Realitas yang halus ini adalah tempat dimana terlihat cahaya yang tak terlihat dan bersumber dari ketentuan ilahi. Bentuk hati bersifat jasmaniyah, namun realitas hati bersifat surgawi, ruhaniyah berkaitan dengan “dominion” (alam malaikat), bercahaya dan ilahiyah. Dalam psikolog Sufi hati memuat kecerdasan dan kearifan yang lebih dalam. Hati adalah tempat ma’rifat, dan merupakan kecerdasan yang lebih dalam dan lebih dasar dari pada kecerdasan abstrak kepada (otak).
Seorang guru sufi menuturkan, “Jika kata-kata berasal dari hati, ia akan masuk ke dalam hati, jika ia keluar dari lisan, maka ia hanya sekadar melewati pendengaran.” Hati janganlah disalahartikan sebagai emosi. Emosi, seperti amarah, rasa takut, dan keserakahan, berasal dari nafs. Ketika manusia berbicara menganai ‘hasrat hati’, mereka biasanya merujuk pada hasrat nafs. Nafs tertarik pada kenikmatan duniawi dan tidak peduli akan Tuhan; sedangkan hati tertarik kepada Tuhan dan hanya mencari kenikmatan di dalam Tuhan. Hati secara langsung beraksi atas setiap pikiran dan tindakan. Seorang sufi kerap berkata bahwa setiap tindakan yang baik memperlembut hati, dan setiap kata dan tindakan yang buruk akan memperkeras hati. Nabi Muhammad SAW. menyebutkan keutamaan hati saat berkata, “Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia sehat, maka seluruh tubuh pun sehat, jika ia sakit, maka seluruh tubuh pun akan sakit. Itulah yang disebut hati.”
Apakah dengan memiliki hati yang baik atau sehat bisa membuat religiusitas kita menjadi lebih sejahtera dalam menjalani kehidupan ? sebelumnya ada beberapa peneliti menemukan bahwa individu yang religius memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi dan cenderung lebih bahagia (Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999; Cohen & Johnson, 2011; Saputra, Aditya, Lanawati, 2015). Hal tersebut dapat dijelaskan karena religiusitas mempengaruhi berbagai aspek dalam individu misalnya terhadap cara berpikir. Mereka yang religius cenderung memandang hidup dengan lebih positif. Orang yang memandang hidup secara positif tentu akan lebih dapat bersyukur dan puas, sehingga lebih berbahagia.
Ryff (1989) merumuskan konsepsi psychological well-being dari perspektif positive psychological functioning, life span development dan positive mental health. Berdasarkan teori-teori tersebut, Ryff mendefinisikan psychological well-being sebagai kombinasi dari dimensi-dimensi yang mencakup kesejahteraan yang luas, terdiri dari penilaian positif terhadap diri sendiri dan terhadap kehidupan masa lalunya (self-acceptance), suatu rasa untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai individu (personal growth), keyakinan bahwa hidupnya memiliki tujuan dan bermakna (purpose in life), memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain (positive relations with others), memiliki kapasitas untuk mengatur hidupnya dan dunia sekitarnya dengan efektif (environmental mastery) serta memiliki otonomi (autonomy). (Ryff & Keyes, 1995).
Hurlock (1980) menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis (psychological well being) atau kebahagiaan tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A kebahagiaan” yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Jika dihubungkan dengan judul artikel ini, kita bisa mengetahui bahwasannya hati dan spiritualitas berkaitan dengan kesejahteraan seseorang walaupun demikian, tidak semua studi menemukan bahwa religiusitas berdampak terhadap kesejahteraan hidup manusia, misalnya individu yang mengalami suatu masalah dapat merasa dihukum oleh sosok ilahi yang dipercayainya dan akibatnya dapat menjadi marah kepada sosok Ilahi tersebut (Koenig, 2005; Ramirez-Johnson, Fayard, Garberoglio, & Ramirez, 2002).
Dari permasalahan diatas, maka penulis berkeinginan untuk meneliti hubungan antara religiusitas dengan psychological well-being pada anggota Satpamwal Denma Mabes TNI, yang memiliki tugas pengamanan yang cukup berat. Dengan memiliki religiusitas yang tinggi, diharapkan dapat membimbing perilakunya sesuai dengan orientasi nilainilai agama yang diyakininya sehingga akan mendapatkan ketenangan dalam mencapai tujuan hidup dan akan merasakan kesejahteraan psikologis (PWB). Dengan permasalahan ini kita bisa melihat bagaimana peran hati terhadap religiusitas individu pada psychological well being.
Hasil dan Pembahasan
Religiusitas dapat didefinisikan sejauh mana seseorang percaya, memandang hal-hal yang terjadi dikehidupan sehari-hari berdasarkan sudut pandang agama dan menerapkan keyakinan agamanya pada kehidupan sehari-hari. Sedangkan psychological well-being menurut Ryff didefinisikan sebagai kombinasi dari dimensi-dimensi yang mencakup kesejahteraan yang luas, terdiri dari penilaian positif terhadap diri sendiri dan terhadap kehidupan masa lalunya (self-acceptance), suatu rasa untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai individu (personal growth), keyakinan bahwa hidupnya memiliki tujuan dan bermakna (purpose in life), memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain (positive relations with others), memiliki kapasitas untuk mengatur hidupnya dan dunia sekitarnya dengan efektif (environmental mastery) serta memiliki otonomi (autonomy). (Ryff & Keyes, 1995).
Seseorang dengan nilai religiusitas yang tinggi bisa mempengaruhi hidup psychological well-being individu. Karena seseorang yang menanamkan dan mengaitkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-harinya seperti taat beribadah, melakukan hal-hal positif, mengikuti kajian-kajian atau pengajian akan meningkatkan kesejahteraan psikologis dalam diri individu. Dan peran hati disini sebagai pengantar yang nantinya akan muncul kesejahteraan psikologis pada individu, karena segala sifat religiusitas seseorang akan direspon melalui perasaaan yaitu hati, dan hati lah yang menentukan apakah individu pantas mendapatkan kesejahteraan psikologis atau tidaknya dengan apa yang ia lakukan.
Karena sudah dijelaskan diatas menurut Seorang guru sufi, “Jika kata-kata berasal dari hati, ia akan masuk ke dalam hati, jika ia keluar dari lisan, maka ia hanya sekadar melewati pendengaran.” Hati janganlah disalahartikan sebagai emosi. Emosi, seperti amarah, rasa takut, dan keserakahan, berasal dari nafs. Ketika manusia berbicara menganai ‘hasrat hati’, mereka biasanya merujuk pada hasrat nafs. Nafs tertarik pada kenikmatan duniawi dan tidak peduli akan Tuhan; sedangkan hati tertarik kepada Tuhan dan hanya mencari kenikmatan di dalam Tuhan. Hati secara langsung beraksi atas setiap pikiran dan tindakan. Seorang sufi kerap berkata bahwa setiap tindakan yang baik memperlembut hati, dan setiap kata dan tindakan yang buruk akan memperkeras hati. Nabi Muhammad SAW. menyebutkan keutamaan hati saat berkata, “Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia sehat, maka seluruh tubuh pun sehat, jika ia sakit, maka seluruh tubuh pun akan sakit. Itulah yang disebut hati.”
Refrance:
Husnaini Rovi. 2016. Hati, Diri dan Jiwa (Ruh) Ridok. 2016.
Hurlock, E. B., 1980. Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Ryff, C. D. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well Being. Jurnal of Personality and Social Psychology. Vol. 57, No. 6
Saputra, A., Aditya, Y., & Lanawati, S. (2015). The effects of religiosity on the well-being of college students.
Cohen, A. B. & Johnson, K. A (2011). Religion and Well-being.
Ditulis oleh: Eka Rosdiana Adisti, Hasna Aulia R, dan M.Irham Ramadhan
rosdianaaeka@gmail.com, m.irham.ramadhan75@gmail.com, hasnaauliia17@gmail.com
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Jl. Limau II No. 3, Kramat Pela, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan 12210