Penggunaan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal yang selama ini dipedomani Muhammadiyah dianggap telah usang oleh seorang pakar astronomi. Bahkan ia menyebut sikap Muhammadiyah tersebut sebagai tindakan yang mengedepankan ego-organisasi sehingga berpotensi memecah belah ukhuwah Islam. Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Putusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi menanggapi tuduhan di atas.
Menurutnya, tanpa disadari pernyataan di atas justru lebih potensial bisa memprovokasi keharmonisan umat Islam khususnya di Indonesia. Lebih dari itu, memaksakan kriteria MABIMS sebagai metode penentuan awal bulan justru akan semakin sulit mewujudkan persatuan Islam.
Sebab alih-alih ingin merealisasikan ukhuwah Islamiyah, dengan menaikkan kretiria ketinggian hilal 2 derajat menjadi 4 derajat saja telah semakin membuka perbedaan yang semakin lebar. Padahal kriteria 2 derajat sudah digunakan bertahun-tahun lamanya. “Teringat betul ketika Kemenag masih menggunakan ketinggian 2 derajat, pada saat itu cuaca sangat mendung yang secara nalar sehat tidak mungkin ada yang bisa melihat hilal dalam ketinggian 2 derajat. Namun karena berdasarkan hisab bahwa ketinggian hilal mencapai 2 derajat, maka seakan dipaksakan harus ada yang melaporkan melihat hilal,” terang Ruslan pada Sabtu (18/03).
Kini ketika Kemenag mempersyaratkan ketinggian hilal 4 derajat, maka sekalipun sekelompok masyarakat melaporkan bahwa mereka telah melihat hilal dalam ketinggian 2-3 derajat dan mereka berani disumpah sekalipun, kesaksian mereka tetap ditolak karena belum mencapai ketinggian 4 derajat. Berbeda jauh dengan pada zaman Rasulullah saw ketika seorang Badui (rakyat jelata) memberi kesaksian telah melihat hilal dan mau disumpah, kesaksian sang Badui-pun diterima.
Alasan Muhammadiyah Menggunakan Hisab
Ruslan menegaskan bahwa penggunaan Wujudul Hilal bukan berdasarkan ego tetapi berdasarkan dalil agama, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah sebagaimna juga sering disampaikan oleh Syamsul Anwar bahwa setidaknya ada tujuh alasan mengapa Muhammadiyah istiqomah menggunakan Hisab Hakiki Wujudl Hilal.
Pertama: karena semangat Al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an; “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. Ar-Rahman [55]:5). Ayat ini tidak sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar secara pasti (eksak), tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena memilik manfaat yang sangat banyak, antara lain untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu (QS. Yunus [10] ayat: 5).
Kedua: Rasulullah Saw menggunakan rukyat, karena itulah cara yang memungkinkan untuk digunakan saat itu, yang oleh Rasyid Ridha dan Mustafa Ahmad Az-Zarqa menjelaskan bahwa perintah melakukan rukyat adalah amrun ma’lulah (perintah yang memiliki ilat atau causa hukum), sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw; “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi kami tidak bisa (tidak terbiasa) menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga: Dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender, apalagi kalender global hingga sekian puluh atau seratus tahun yang akan datang. Rukyat tidak dapat dijadikan sarana untuk menentukan penanggalan jauh ke depan, sebab tanggal baru bisa diketahui pada H-1, yang dalam konteks Indonesia menyebabkan masyarakat di daerah Timur bingung untuk mengakhiri rangkaian ibadah ramadhannya termasuk shalat tarawih karena di daerahnya telah masuk waktu isya’ sementara di Jakarta masih sore dan menunggu sidang itsbat yang sejatinya tidak diperlukan.
Keempat: Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global (Kalender Islam Internasional). Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qomariah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.
Kelima: Jangkauan rukyat terbatas, akibatnya rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qomariah di seluruh dunia. Pada sisi lain ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat dan dapat menjadi solusi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara agama maupun saintifik.
Keenam: Pada masa Nabi rukyat tidak problematik karena terbatasnya wilayah umat Islam pada masa Nabi saw, tidak seperti saat ini yang telah mendunia.
Ketujuh: Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah, karena di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah Barat sudah terukyat, demikian pula sebaliknya. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qomariah. Akibatnya kawasan ujung Barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha.