Dua belas tahun yang lalu, Muhammadiyah mengumumkan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011, sementara pemerintah cq Menteri Agama mengumumkan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011.
Ini bukan kali pertama hasil hisab Muhammadiyah tentang awal Syawal berbeda dengan Pemerintah. Perbedaan awal Syawal tersebut selalu mengundang diskusi, debat, bahkan polemik.
Tema-tema yang diskusikan antara lain adalah
1. Mana yang lebih valid antara metode rukyah (ru’yah al-hilâl) dengan metode hisab (al-hisâb)
2. Apakah metode hisab mengabaikan sunnah atau tetap mengikuti sunnah tetapi dengan pemahaman yang berbeda, apakah metode wujudul hilal (wujûd al-hilâl) dapat dipertanggung jawabkan
3. Apakah ada dasar menentukan imkaniyah ar-ru’yah 2 derajat
4. Apakah rukyah itu ta’qquli atau ta’abbudi dan juga permasalahan tentang siapakah yang dianggap sebagai ulil amri.
Khusus tentang persoalan ulil amri, yang jadi persoalan bukanlah tentang keharusan patuh pada ulil amri, karena perintah patuh pada ulil amri sudah dinashkan secara jelas dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’ 4: 59).
Tetapi yang jadi persoalan adalah siapakah yang berhak disebut ulil amri dalam ayat tersebut. Satu pihak menyatakan bahwa ulil amri itu adalah pemerintah. Untuk urusan penetapan awal Ramadhan dan terutama awal Syawal, ulil amrinya adalah Menteri Agama. Dengan demikian, apabila Pemerintah sudah menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal, maka semua umat Islam harus mematuhinya. Dalam hubungannya dengan Muhammadiyah, jika Muhammadiyah mengumumkan berbeda dengan Pemerintah, berarti Muhammadiyah tidak taat dengan ulil amri, berarti juga tidak melaksanakan perintah Allah dalam ayat di atas.
Sementara itu, pihak lain, terutama Muhammadiyah, tidak menolak kewajiban patuh dalam ayat tersebut? Tapi yang dipertanyakan adalah apakah menteri agama itu sah disebut sebagai ulil amri?
Untuk urusan keagamaan, apalagi ibadah mahdhah, harusnya diputuskan oleh lembaga yang punya kompetensi dan otoritas untuk itu? Misalnya di Mesir yang memutuskan satu Syawal adalah Grand Mufti, sementara Mentri Agama/Wakaf hanya menyaksikan, di Saudi Arabia yang memutuskan adalah Mahkamah Agung, di Malaysia yang memutuskan adalah Mufti Negara. Dan sebagian besar negara-negara Islam yang memutuskan adalah mufti. Mufti atau grand mufti ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan kriteria keulamaan dan keahlian dalam agama. Sementara di Indonesia menteri agama adalah jabatan politik, ditunjuk oleh presiden berdasarkan pertimbangan politik bukan pertimbangan keulamaan. Indonesia tidak mempunya mufti atau grand mufti. Oleh sebab itu selama ini fatwa-fatwa keagamaan dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fatwa yang ada pada ormas-ormas Islam seperti Majlis Tarjih dan Tajdid (Muhammadiyah), Lajnah Bahsil Matsail (Nadhlatul Ulama) atau komisi fatwa (Majelis Ulama Indonesia).
Makalah ini mencoba membahas tentang masalah Ulil Amri ini. Apa pengertian ulil amri dan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ulil amri tersebut. Kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah. Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah SWT
Dalam ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’ (wa hum râki’ûn). Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat. Aqidahnya benar (bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk kemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaqnya terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah dan sifat-sifat mulia lainnya) dan mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Karena mendung, maka bulan yang sedang berjalan itu digenapkan 30 hari. Sekarang, ilmu astronomi sudah demikian maju, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui awal bulan.
Oleh sebab itu Muhammadiyah yakin tidak melanggar sunnah tatkala menggunakan hisab hakiki untuk menentukan awal bulan. Sebagian memahami, bahwa yang bersifat ta’abbudi (tidak boleh dirubah sedikitpun) adalah puasa Ramadhan dimulai tanggal 1 Ramadhan dan shalat ‘Idul Fitri tanggal 1 Syawal. Sedangkan bagaimana cara menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal itu adalah sesuatu yang bersifat ta’aqquli (rasional, dapat berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi) dan lebih bersifat teknis.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ulil amri itu adalah: 1. Umarâ’dan hukâm dalam pengertian yang luas (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas; 2. Semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing- masing; 3. Para ulama baik perorangan ataupun kelembagaan seperti lembaga-lembaga fatwa.
Jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan pemahamaan nash-nash agama, diselesaikan dengan menggunakan kaedah-kaedah perbedaan pendapat yang sudah ada dan biasa dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Pemerintah tidak dapat intervensi dalam persoalan pemahaman terhadap nash, karena hal itu bukan wilayah wewenangnya. Tetapi jika terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan kemasyarakatan yang bersifat ijtihadi, maka pemerintah dapat memutuskan pendapat mana yang akan diikuti.
Dalam perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, dalam kitannya dengan pelaksanaan ibadah puasa dan shalat ‘Ied, maka penyelesaiannya diserahkan kepada para pemimpin agama dalam membimbing umat. Tetapi urusan libur ‘Iedul Fithri dan hal-hal laindi luar urusan keagamaanmurni, diputuskan oleh Pemerintah.
1. Makalah ini disampaikan dalam Sarasehan danSosialisasi Hisab Rukyat Muhammadiyah, yang diadakan oleh Majelis Tarjih danTajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, Kamis 4 Sya’ban 1434 H/ 13 Juni201
2. Guru Besar Ulumul Qur’an Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010-2015.
3. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Volume 2, hlm. 4
4. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: LPPI UMY, 2011), hlm. 248-249
5. Al-Hâfizh ‘Imâd ad-Dîn Abû al-Fadâ’ Ismâîl Ibn Katsîr al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm (Riyâdh: Dâr ‘Alam al-Kutub, 1997), jld 2, hlm. 3
6. As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr Al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manâr), (Beirut: Dâr al-Fikr,1973), jld 5, hlm. 147.
7. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, 5: 147
Ditulis oleh:
Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas rahimahullah
(Ketua PP Muhammadiyah dan Wakil Ketua Umum MUI)