Jokowi Gak Mikir Bahaya China atau Agennya?

Undangan Presiden RRC Xi Jinping disambut sumringah dan dilaksanakan tanggal 27-28 Juli 2023. Pertemuan Jokowi-Xi Jinping diadakan di Chengdu dan menurut Kantor Berita Xinhua telah terbangun “kerjasama strategis”. Xinhua mengutip pernyataan Xi Jinping “China bersedia mengambil kesempatan itu sebagai kesempatan untuk memperdalam kerjasama strategis Indonesia-Tiongkok”. Sebagaimana biasa kebahagiaan itu juga ditumpahkan oleh “Duta China” Luhut Binsar Panjaitan. Ia menilai sempurna kerjasama Indonesia-Tiongkok. Dengan bahasa diplomatik “kerjasama strategis komprehensif”. Menurut Menlu Retno Marsudi pertemuan itu bertepatan dengan 10 tahun kerjasama kemitraan yang terjalin antara kedua negara.

Pikiran terpaksa melayang mundur ke belakang saat Ketua CC PKI DN Aidit dahulu diundang oleh Mao Zedong ke China. 10 tahun kerjasama erat antara China dan PKI. Pemilu 1955 PKI sukses menjadi 4 besar pemenang Pemilu. Pada 5 Agustus 1965 DN Aidit bertemu dengan Mao Zedong di Beijing dalam rangka “kerjasama strategis” dan mendiskusikan kesiapan untuk pengganti Presiden Soekarno. Menurut dokter China, Presiden Soekarno sakit cukup berat. Sebentar lagi “selesai”. DN Aidit melaporkan kondisi Indonesia dan agenda PKI untuk merebut kekuasaan. Juga melaporkan pergerakan dari tokoh sayap kanan yang ditakuti PKI yaitu AH Nasution. Mao Zedong bertanya dan memberi arahan. Kemudiannya terjadi peristiwa G 30 September. PKI mencoba kudeta dan memfitnah tentara.

Menurut peneliti Taomo Zhou atas gerakan 30 September tersebut Mao Zedong tidak tahu sedangkan menurut ilmuwan Chekoslovakia Victor Miroslav Fic, arahan Mao Zedong adalah “habisi para jenderal dan perwira senior itu dalam sekali pukul”. Keberadaan Dewan Militer disampaikan DN Aidit kepada Mao Zedong. PKI menyusup ke Angkatan Darat, Angkatan Udara dan pasukan pengawal Presiden Cakrabhirawa. Meski tidak berhubungan tetapi undangan Xi Jinping 27-28 Juli 2023 untuk membangun “kerjasama strategis komprehensif” perlu diwaspadai. Benar utamanya kerjasama itu berkaitan dengan bidang ekonomi dengan “8 Kesepakatan” namun sejauh mana komprehensivitas itu tidak nyambung dengan aspek politik ? Peran RRC yang semakin dalam dapat menghegemoni. Indonesia terancam.

Adakah Jokowi melaporkan situasi politik di Indonesia tentang penggantian Presiden yang sebentar lagi “selesai” dan pergerakan sayap kanan dengan tokoh yang ditakuti Jokowi Anies Baswedan ? Lalu 10 tahun itu bukanlah kerjasama masa rezim Jokowi berkuasa ? Saat rakyat khawatir pada kebangkitan “Neo PKI” maka mengundang peran besar RRC adalah kegilaan politik. Apalagi IKN “diserahkan” kepada RRC ditambah hilirisasi energi terbarukan, kesehatan dan riset ketahanan pangan. Ketika rakyat menentang kepindahan IKN Jokowi justru memaksakan kehendaknya. Kini secara “strategis dan komprehensif” diserahkan pada China. Dimulai dari permintaan Jokowi agar China mendisain IKN. Berarti disain ulang sesuai kepentingan RRC mengubah disain awal.

Indonesia dijual dengan harga murah dengan bahasa “investasi” kepada China oleh Jokowi. Bahaya penjajahan RRC berada di depan mata. Rakyat Indonesia yang berideologi Pancasila tidak boleh membiarkan kebijakan gila dari para penghianat negara.
Berjuang melawan kejahatan adalah kewajiban. DN Aidit setelah 10 tahun kerjasama diundang Mao Zedong kini Jokowi diundang Xi Jinping setelah 10 tahun kerjasama. Keduanya berada diakhir masa kekuasaan rezim. Perlu pengganti atau penerus. Dulu Mao Zedong-DN Aidit di awal Agustus, kini Xi Jinping-Jokowi di akhir Juli. Dulu Soekarno menjadi pelindung PKI, kini Jokowi tidak pernah mengutuk PKI.

Apakah Jokowi gak mikir akan bahaya China atau memang Jokowi agen China ?

Ditulis oleh:
H. M. Rizal Fadillah, SH
(Pemerhati Politik dan Kebangsaan)

Leave a Reply

Kirim Pesan
Butuh Bantuan?
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Hallo, sobat ITB Ahmad Dahlan! Apa yang bisa kami bantu untuk Anda?