Menarik dicermati kalimat yang disampaikan oleh seorang pimpinan Muhammadiyah yang ada di lingkungan istana, apa kata beliau; “Muhammadiyah tak boleh membedakan anggota atau tidak saat membantu. Harus menerapkan prinsip non diskriminasi atau kesetaraan tanpa membeda-membedakan. Sehingga kalau memberikan bantuan kepada orang miskin tanpa dilihat ini Muhammadiyah atau bukan.“
Hal itu ditegaskan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Muhadjir Effendy MAP, saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS) di SM Tower Yogyakarta, Jumat (11/8/2023). Ucapan Bapak Muhajir tersebut bukan tanpa alasan yang kuat. Tetapi memang sering terjadi kesenjangan antara pimpinan dan non pimpinan apalagi terhadap orang-orang rendahan dan kelompok miskin, biasanya sering tidak pada perlakuan yang sama penghormatannya menghadapi mereka-mereka yang jauh di bawahnya tersebut.
Sikap kepedulian yang ditunjukkan lebih pada orang-orang yang sama kedudukannya atau lebih tinggi darinya, yang seharusnya tidak muncul dalam refleksi kehidupan bermuhammadiyah. Namanya saja gerakan dakwah Islam Muhammadiyah, lalu bagaimana kalau ada kelompok Muhammadiyah yang secara kebetulan mendapatkan amanah memimpin, sedangkan yang diterapkan adalah sifat oligarki tidak memiliki sifat filantropi atau kedermawanan. Ada yang sewaktu-waktu kepeduliannya dan terlalu bersifat politis, tak mencerminkan sebagai hiasan hidup mereka yang sesungguhnya lebih pada konsep pemikiran para badut yang menjelma dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Ini juga sering terjadi di berbagai tingkat kepemimpinan mulai dari pusat sampai ke tingkat cabang bahkan ranting.
Padahal sikap yang perlu ditunjukkan oleh setiap pribadi yang memimpin Muhammadiyah adalah sikap layaknya seorang pendakwah yang ingin menarik umat ke jalan yang lurus bukan pada sebaliknya, bertindak sebagai seorang pemimpin yang paling merasa dibutuhkan oleh orang lain sehingga muncul keberadaan dan sikap sebenarnya dari sosok pemimpin tersebut. Tidak merasa membutuhkan rakyat atau warga Muhammadiyah tetapi berharap banyak supaya warga Muhammadiyah membutuhkannya.
Ini sering terjadi menjelang muktamar, menjelang musyawarah wilayah, musyawarah daerah musyawarah cabang dan musyawarah ranting. Biasanya topeng-topeng kebaikan ditunjukkan oleh mereka hanya karena ingin dipilih belaka bukan berangkat menambatkan diri kepada warga Muhammadiyah bersama mendayung bahtera Muhammadiyah itu menuju tujuan sakralnya yakni menjunjung tinggi agama Allah setinggi-tingginya. Demikian juga dalam soal pengentasan kemiskinan dan merasa pemimpin yang membutuhkan warga Muhammadiyah, akan senantiasa menampakkan wajah-wajah ceria dan senang untuk senantiasa membantu dan menolong mereka yang sangat membutuhkan. Tidak setengah Hati, antara iya dan tidak. Tetapi memang berangkat karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Seorang pemimpin Muhammadiyah itu harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, ringan dijinjing bersama dan berat dipikul bersama. Kepemimpinan Muhammadiyah seperti ini yang seharusnya ada di Muhammadiyah, kayaknya kepemimpinan Rasulullah dan para sahabat, lebih mengutamakan kesejahteraan warganya daripada kesejahteraan dirinya. Tidaklah kemudian menjadi sebuah organisasi yang terdiri dari kalangan oligarki membiayai orang-orang yang dianggap sangat menguntungkan baginya terutama dari kalangan pengusaha tetapi pada tingkat bawah banyak sekali orang miskin yang hanya mampu menadahkan tangannya meminta-minta, karena tidak punya naluri untuk diselamatkan dari keberadaannya misalnya menciptakan lapangan kerja untuk mereka warga Muhammadiyah yang pada miskin.
Kalau istilah membangun kekuatan ekonomi, bangun kekuatan politik, membangun kekuatan akhlak dan agama. Sudah pasti untuk kesejahteraan hidup yang lebih layak di dunia dan demikian pula di akhirat. Tidaklah membangun sebuah kekuatan menjadikan warga Muhammadiyah sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan-tujuan politisnya belaka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu memperingatkan, dari sosok-sosok manusia, ketika berada di tengah-tengah manusia nampak segala kebaikannya sehingga mengundang pujian dari berbagai belah pihak, tetapi ketika sendirian sebenarnya orang itu Paling tamak dan rakus dalam hidupnya. Mereka adalah para pemimpin yang ketika berada di tengah-tengah lampu yang terang benderang segala kebaikannya nampak mempesona. Tapi ketika lampu padam dan tak terlihat sebenarnya sama dengan momok yang sangat menakutkan.
Pemimpin ini yang tak pernah memiliki sandaran SWOT, yang seharusnya adalah kesatuan pada diri setiap pemimpin Muhammadiyah sehingga benar-benar adalah wujud pemimpin yang diharapkan oleh setiap Warga Muhammadiyah.
Ditulis oleh:
Zulkarnain Elmadury
Ketua Majelis Tarjih PCM Pondok Gede Bekasi