Hilirisasi industri meniscayakan transformasi dari industri berbasis ekstraktif menuju industri berbasis nilai tambah (value added) Tentu dihela oleh pengetahuan dan teknologi. Itulah yg disebut ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Lantas, dalam pemahaman keagamaan, adakah hilirisasi agama itu?
Hilirisasi agama meniscayakan agama memiliki nilai tambah di ruang publik. Hilirisasi berarti mengekstrak teks-teks agama supaya lebih fungsional tanpa kehilangan makna.
Terus terang, selama ini agama banyak dijadikan komoditas politik, sosial, identitas, dan lain lain. Muaranya, terjadi komodifikasi agama. Tafsir agama hanya berada dalam ruang yang sempit. Kontekstualisasi agama dalam ruang dan waktu yang variatif dan jamak, banyak ditafsir dalam pendekatan ortodoks. Agama menjadi myopia. Menyeruaklah ekstrimisme sempit. Dengan enteng mengafirkan pihak lain, mudah melakukan takfiri, selalu membenarkan diri dan kelompok sendiri, stereotip, stigmatik, dan lain lain.
Hilirisasi agama meniscayakan agama berbasis pengetahuan dan kosmopolitanisme. Dalam fungsionalitas agama, perlu gerakan yang terlembaga, tidak sekadar jamaah, tapi jamiyah yang rapi. Perlu imamiyah yang memberikan energi, inspirasi, imajinasi, keteladanan, dan nilai transformatif. Membangun hilirisasi agama tidak cukup dengan kelembagaan seperti itu.
Kita perlu “smelter”, yakni wahana penempaan mental, ideologi, spritual, wawasan, pengetahuan, keterampilan dan kapasitas leadership. Karena itu, lembaga pendidikan modern dan tempat-tempat ibadah harus menjadi “smelter” yang memberi sibghah, warna kemaslahatan dan cahaya bagi masyarakat, menjadi pusat-pusat keunggulan, dan menjadi kekuatan transformer.
Tanpa hilirisasi agama yang didesain dengan apik, jangan berharap agama tampil sebagai kekuatan par excellence dan memberi cahaya dalam semesta. Tanpa hilirisasi, agama hanya dijadikan komoditas yang mudah dijual sebagai identitas di ruang publik tanpa makna