Oleh Mukhaer Pakkanna Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, 2018 – 2023
Pada medio September 2023, penulis diundang sebagai salah satu narasumber diskusi di Fraksi PAN DPR RI membahas tentang RUU Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). Jika dikulik, UU itu masih “seumur jagung”, kemudian pemerintah mengusulkan untuk segera direvisi.
Pada 21 Agustus, pemerintah meminta ke DPR RI agar RUU ini bisa disahkan akhir September 2023. Padahal masih banyak celah untuk dikritisi, terutama sisi konstruksi RUU-nya yang masih rapuh. Dalam kata “Menimbang” huruf a) misalnya, UU ini berpretensi “Menguatkan Otorita IKN penyelenggaraan Pemerintah Daerah Khusus, peningkatan ekosistem investasi untuk memaksimalkan kontribusi investor, dan penguatan jaminan keberlanjutan tahapan pembangunan Ibu Kota Nusantara”.
Penguatan kelembagaan Otorita IKN (OIKN), meniscayakan OIKN sebagai “negara dalam negara” (Pasal 12 ayat 2) tanpa dikontrol DPRD kota/Provinsi. Hanya bertanggungjawab kepada Presiden (Pasal 26) dengan kewenangan penuh mengelola proyek, anggaran, pinjaman, barang/jasa, dan aset (pasal 23). Bahkan yang menarik, RUU ini akan memberi “jalan tol” kepada investor asing untuk memaksimalkan kontribusinya kepada IKN dan berharap RUU ini menjaga “keberlanjutan pembangunan” IKN dari rezim ke rezim berikutnya.
RUU ini sama sekali tidak bersungguh-sungguh mengusung konsep pembangunan berkelanjutan. Mengonfirmasi Brundtland Commission Report (Schaefer & Crane, 2005) pembangunan berkelanjutan mencakup pemerataan dan keadilan sosial, menghargai keanekaragaman hayati, budaya, dan sosial, serta pembangunan dengan pendekatan integrative, berperspektif jangka panjang. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan yang dimaksud, mengalami distorsi dan direduksi sebagai “keberlanjutan pembangunan”.
Keberlanjutan Pembangunan
Dalam rangka menggerakkan “keberlanjutan pembangunan”, revisi UU IKN dihadirkan guna memastikan superbody OIKN dan kepastian usaha bagi investor. Karena itu, RUU ini melancarkan beberapa klausul. Pertama, pemerintah akan segera meliberalisasi investasi melalui kebijakan kepemilikan Hak Atas Tanah (HAT), misalnya, kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) akan diberikan selama 190 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 160 tahun, dengan dua siklus periode kepada investor (Pasal 16A).
Ini artinya, liberalisasi ini mirip kebijakan rezim Thomas S. Raffles (1811 – 1816), Letnan Gubernur Inggris yang pernah menduduki Indonesia. Maka, bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya diserahkan secara telanjang ke rezim kolonialisme. Rezim ini, tentu berkuasa menyerahkan semuanya ke pemilik modal untuk disewakan.
Kedua, area permukiman masyarakat harus dikeluarkan dari wilayah IKN demi menghindari konflik sosial. Maka, penguasaan tanah pribadi masyarakat juga tidak diakui di wilayah IKN. Artinya, UU ini dibuat untuk mereka yang mampu, dan masyarakat melarat dilarang hinggap di IKN.
RUU ini secara terang benderang mengingkari makna dan tujuan pembangunan nasional pada Pembukaan UUD 1945, yakni “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mecerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Ketiga, RUU perubahan ini tidak pernah menyebutkan badan usaha koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional untuk terlibat dalam pembangunan IKN. Itu artinya, IKN didesain untuk tidak melibatkan masyarakat umum, kelembagaan lokal, sehingga kesan semangat eksklusifisme dan favoritisme semakin kental. Rezim selalu melihat koperasi bukan sebagai pilar ekonomi bangsa yang bisa dibanggakan. Padahal banyak contoh konkret keberhasilan koperasi dalam pembangunan suatu Negara.
Koperasi Mandragon di Spanyol misalnya, didirikan sejak 1956, menjadi perusahaan ke-7 terbesar di Spanyol. Anak usahanya pun merambah ke Brasil, Cina, Mesir, dan berbagai negara Eropa dan Asia lain. Merujuk artikel How Mondragon Became The World’s Largest Co-Op (2022) di The New Yorker, Nick Romemenulis, tidak ada kekuasaan tunggal di tubuh Mondragon. Semuanya sama rata dan sama rasa karena karyawan atau pekerja sebagai anggotanya. Koperasi ini berkontribusi besar dalam pembangunan ekonomi di negaranya.
Sejatinya, koperasi di Indonesia sangat bisa digerakkan seperti koperasi Mandragon. Dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah memberikan ruang. Bahkan, memberi kesempatan kepada koperasi yang memiliki kelebihan kapasitas modal dapat melakukan penyertaan modal kepada perusahaan yang membutuhkan tambahan modal. Ihwal ini dapat dilakukan jika koperasi membentuk Perusahaan Modal Ventura (PMV). Dalam PMK RI No. 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura, maka PMV dapat didirikan dalam bentuk badan hukum koperasi.
Demi “keberlanjutan pembangunan” untuk diwariskan kepada rezim ke rezim berikutnya, maka revisi UU IKN ini harus memberikan kepastian hukum dan pengaturan dalam rangka percepatan pembangunan, Kebijakan “keberlanjutan pembangunan” justru dijadikan program Prioritas Strategi Nasional (PSN) demi “karpet merah” kepastian bisnis pemilik modal raksasa.
Dengan semangat “keberlanjutan pembangunan” itu, paradigma pembangunan berkelanjutan telah diabaikan. Padahal dokumen “The Future We Want” pada UN Conference on Sustainable Development 2012, menjadi pemantik penyusunan agenda pembangunan pasca 2015 yang disepakati pada Sidang Umum PBB, yaitu Agenda 2030, Sustainable Development Goals (SDGs).
Dalam pembangunan berkelanjutan, konservasi sumber daya alam dan habitat satwa terkoneksi dengan alam, pembangunan rendah karbon; sumber daya air yang memadai; pembangunan terkendali, dan pelibatan masyarakat (Siagian, dkk. 2022). Dalam wilayah IKN dan sekitarnya memiliki keanekaragaman hayati berupa 527 jenis tumbuhan, 180 jenis burung, lebih dari 100 jenis mamalia, dan 25 jenis herpetofauna (Jurnal Bappenas Working Papers, Juli 2023)
Jangan sampai demi mengawetkan rezim “keberlanjutan pembangunan”, aturan perundang-undangan dlilabrak untuk memberi ruang yang besar para pemodal. Prahara pembangunan kawasan Rempang Eco-City, Batam, yang dijadikan Program Strategis Nasional (PSN) menjadi pelajaran sangat berharga dalam pembangunan IKN. Mengabaikan partisipasi publik, melupakan kearifan masyarakat lokal, merusak keharmonisan alam, serta hilangnya mimpi masa depan generasi berikutnya, harus segera diakhiri.
Dalam konteks revisi UU IKN, klausul pembangunan berkelanjutan menjadi keniscayaan. Pertama, pentingnya pemberdayaan masyarakat lokal. Ini dapat dilakukan melalui peningkatan akses pendidikan berkualitas, pelatihan keterampilan, dan kesempatan kerja. Kedua, melibatkan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Ihwal ini meliputi perlindungan dan pemulihan ekosistem, pengelolaan air yang efisien, penggunaan energi terbarukan, dan pengelolaan limbah yang baik.
Pembangunan berkelanjutan menjadikan fokus pembangunan adalah manusianya, bukan sekadar invetasi dan ekonominya. Ingat! perekonomian Indonesia harus disusun dan dikelola: berpangkal pada usaha bersama dan berujung pada keadilan sosial. Menciptakan keadilan sosial, eksklusifime, favoritisme, dan diskriminasi sosial harus dienyahkan.